Muhammad Chirzin
Guru Besar UIN Sunan Kalijogo Yogyakarta
Indonesia benar-benar tidak sedang baik-baik saja. Tanpa perubahan secara fundamental atas tata kelola negara dan pemerintahan, Indonesia tidak akan keluar dari lingkaran setan keruwetan. Hal itu diungkapkan oleh Prof. Daniel Rosyid sebagai berikut.
Mohon direnungkan, bahwa Pilpres langsung ala UUD 2002 ini aneh, ruwet, dan juga mahal lagi, serta bisa menjadi instrumen memecah belah ummat. Juga model pilpresung ini berpotensi besar keliru memilih presiden. Jokowi adalah bukti paling anyar dari kekeliruan Pilpressung semacam ini. Sejak pencalonannya oleh partai politik sudah dipenuhi tarik ulur kepentingan.
Pertama, sedikit Ketum Parpol yang mau atau berhasil maju sebagai capres atau cawapres. Umumnya cukup senang dengan menjadi makelar politik.
Kedua, Daftar Pemilih Tetapnya sulit dipercaya, penyelenggaranya bermasalah secara etika.
Ketiga, karena info dan literasi yang terbatas, kebanyakan pemilih akan memilih dengan menebak, hasil penggiringan opini oleh hoax dan black campaign, intimidasi dan politik uang.
Keempat, Paslon yang Islam tidak pernah menang, sejak Pemilu 1955 karena pemilih muslimnya minoritas, sedang yang mayoritas itu abangan atau islamiyyun. Pilpres 2024 ini juga tidak ada poros Islam.
Hemat saya, yang penting ummat Islam dan bangsa ini tetap bersatu, tidak makin terpecah menjadi cebong, kampret, dan kadrun radikal. Jika ummat Islam pecah, negara ini akan segera runtuh hancur berantakan.
Memilih lewat MPR ala UUD 1945 lebih sederhana, murah, dengan akuntabilitas yang terang. Jika mandataris MPR melanggar konstitusi, bisa diberhentikan dengan cepat melalui Sidang Istimewa. Dengan UUD2002 saat ini, sejak rekrutmennya ruwet, memberhentikannya lebih ruwet.
Kita berjuang agar kembali ke UUD45.
Amandemen dilakukan dengan cara adendum, yaitu menambah pasal-pasal penyempurnaan, bukan mengganti naskah asli UUD 1945.
Saya amat sangat sepakat sekali dengan pendapat tersebut. Menurut hemat saya, asal-muasal keruwetan di Republik ini adalah amandemen UUD 1945 yang kebablasan. Hal itu akibat tindakan sabotase atas reformasi, karena memang ada pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengubah UUD 1945 yang dijiwai Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.
Meminjam istilah Prof. Dr. Kaelan, apa yang dilakukan terhadap UUD 1945 bukan lagi amandemen, tetapi penggantian UUD 1945 dengan UUD 2002.
Dalam konteks keberadaan Presiden, sesungguhnya salah satu tuntutan reformasi ketika itu adalah semata-mata pembatasan masa jabatan presiden menjadi dua kali saja. Mengapa sampai berubah pula cara pemilihannya, menjadi satu orang satu suara, tanpa mempertimbangkan isi kepalanya?
Pemilihan Presiden langsung oleh semua rakyat demikian itu bertentangan dengan sila keempat Pancasila: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Hal itu sekaligus merendahkan kedudukan MPR sebagai representasi rakyat Indonesia dan lembaga tertinggi negara pemberi mandat kepada Presiden yang dipilihnya, yang berhak meminta pertanggungjawaban Presiden dan memberhentikannya dari jabatan Presiden ketika dia menyimpang dari konstitusi dan menyalahi sumpah jabatannya.
Dalam praktik bernegara menggunakan UUD 2002, tidak ada mekanisme pertanggungjawaban Presiden kepada rakyat. Di akhir masa jabatannya Presiden hanya melaporkan hasil kerjanya tanpa pertanggungjawaban atas segala sepak terjangnya.
Dengan minus tanggung jawab Presiden atas segala kinerjanya itu Presiden leluasa bertindak mempengaruhi dan “menguasai” lembaga-lembaga tinggi negara, termasuk DPR, yang keanggotaannya mewakili partai-partai politik. Oleh sebab itu DPR ala UUD 2002 lebih tepat disebut Dewan Perwakilan Partai (DPP). Sebagai DPP, para anggotanya tunduk sepenuhnya kepada pimpinan Partai politik, dengan risiko diberhentikan dari jabatannya bila menentang/melawan kebijakan partai induknya.
Di pihak lain, pimpinan-pimpinan partai sebagian besar berada dalam pengaruh kekuasaan (tersandera) Presiden. Oleh sebab itu, DPR/MPR ala UUD 2002 telah terbukti benar-benar (sebagian besar) tidak memiliki keberanian (karena tersandera pimpinan partai politik) untuk menggunakan hak-hak konstitusionalnya, antara lain, untuk memakzulkan Presiden yang sungguh-sungguh telah melakukan beberapa pelanggaran konstitusi yang dengan demikian sudah lebih dari cukup untuk dimakzulkan.
Solusinya adalah meluruskan UUD 2002 dengan kembali ke UUD 1945 disertai addendum melalui keputusan politik Presiden.
Langkah teknis awalnya adalah dengan menyandingkan dan membandingkan pasal-pasal UUD 2002, baik hasil amandemen 1, 2, 3, dan 4, dengan UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945.
Parameter/standar evaluasinya adalah Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 yang tidak mengalami perubahan.
Untuk itu Calon Presiden yang layak dipilih menjadi Presiden mendatang adalah yang menyatakan hitam di atas putih sanggup kembali ke UUD 1945 yang dimaksud.
Tanpa kembali ke UUD 1945 ASLI, siapa pun Presidennya, Indonesia tidak akan benar-benar menjadi lebih baik.
Apakah praktik bernegara dengan segala penyimpangan dari Pancasila yang sudah sekian lama akan diabadikan?
Republik ini dimerdekakan oleh rakyat semesta, mengapa sekarang dikuasai oleh Partai Politik, yang notabene tidak pernah disebut dalam UUD 1945?
EDITOR: REYNA
Related Posts

Tandem Pernyataan Sikap FPP-TNI Dan Forum Kebangsaan DIY

Nilai-Nilai Al-Quran Dalam Pancasila

Ummat Islam Makin Terpuruk Secara Politik

Kedaulatan Kompor – Martabat Negara: Orkestrasi Bauran Energi Dapur Rakyat: LPG, DME, Jargas & CNGR

Mengapa OTT Kepala Daerah Tak Pernah Usai?

Sedikit Catatan Pasca Pemeriksaan di Polda Metro Jaya (PMJ) Kemarin

Operasi Garis Dalam Jokowi: Ketika Kekuasaan Tidak Rela Pensiun

Jejak Kekuatan Riza Chalid: Mengapa Tersangka “Godfather Migas” Itu Masih Sulit Ditangkap?

Penjara Bukan Tempat Para Aktifis

FTA Mengaku Kecewa Dengan Komposisi Komite Reformasi Yang Tidak Seimbang



No Responses