Oleh: Mirza Muttaqien, Mahasiswa Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga
Idul Adha kembali hadir, menghamparkan gema takbir yang menggugah langit dan menyentuh hati. Setiap tahun, momen ini datang membawa keharuan: di tanah lapang orang-orang berkumpul, saling bersalaman, menyaksikan penyembelihan kurban yang tak semata ritual, tetapi juga simbol kepasrahan, cinta, dan pengorbanan. Namun dalam gegap gempita perayaan, sesungguhnya Idul Adha adalah ruang kontemplasi yang senyap. Ia mengajak kita kembali merenungi dua nilai dasar kehidupan yang kian mahal dalam keseharian kita: kesabaran dan keikhlasan.
Di tengah hiruk-pikuk dunia yang bergerak cepat, dua nilai ini tak lagi mudah ditemukan. Kita hidup dalam kebudayaan instan, ruang digital yang gaduh, dan iklim sosial yang mudah menghakimi. Justru dalam konteks inilah pesan Idul Adha menjadi amat relevan—bukan sebagai kisah masa lalu, melainkan sebagai kompas moral untuk hidup di zaman yang serba terpecah dan terburu-buru.
Waktu yang Tidak Ramah
Kita semua mengenal kisah Nabi Ibrahim dan putranya, Ismail. Dalam Al-Qur’an, keduanya diabadikan sebagai sosok yang menjalani ujian maha berat dengan lapang dada dan penuh keimanan. Ketika perintah pengorbanan datang, Ibrahim tidak serta-merta bertindak. Ia berdialog dengan anaknya. Dan Ismail, dengan ketenangan luar biasa, menjawab: “Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS. Ash-Shaffat: 102).
Kisah ini bukan tentang kekerasan hati atau pengabaian kasih sayang. Justru sebaliknya. Ia tentang bagaimana manusia mampu menempatkan keyakinan, cinta, dan kebenaran dalam satu tarikan napas yang jernih. Keduanya sabar bukan karena tidak takut, melainkan karena telah menemukan sesuatu yang lebih besar dari rasa takut itu sendiri.
Dalam realitas kita hari ini, sabar adalah nilai yang kerap kalah cepat. Kecepatan menjadi ukuran utama zaman. Reaksi yang instan lebih dihargai ketimbang pemikiran yang matang. Bahkan dalam persoalan hidup yang pelik, orang lebih dulu menuntut perubahan daripada memahami prosesnya. Dalam konteks ini, sabar tidak lagi berarti pasrah, melainkan bentuk ketangguhan untuk tetap setia pada jalan yang diyakini, sekalipun lambat, sunyi, atau tidak populer.
Cendekiawan Muslim Nurcholish Madjid pernah menyebut sabar sebagai rasionalitas iman. Ia bukan sikap pasif, tetapi keputusan sadar untuk tidak larut dalam amarah, prasangka, dan ketergesaan. Dalam pandangan Cak Nur, sabar adalah keberanian untuk memilih diam saat bicara justru bisa melukai, atau menunda bertindak saat godaan untuk membalas begitu kuat. Nilai ini amat penting dalam kehidupan sosial kita yang rentan pecah karena hal sepele.
Kita pernah melihat contoh nyata dari sabar dalam sosok KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Dalam masa-masa yang tidak mudah, ia tidak memilih jalan konfrontasi. Ia kembali ke masyarakat, tetap hadir dengan senyum dan visi kebangsaan yang teduh. Kesabarannya tidak lahir dari kelemahan, melainkan dari keluasan jiwa untuk memahami bahwa tidak semua harus dibalas. Dalam kesunyian sikapnya, ada pesan kemanusiaan yang dalam: bahwa kekuasaan sejati adalah kekuasaan atas diri sendiri.
Memberi Tanpa Meminta Balasan
Kalau sabar adalah tentang bagaimana kita menghadapi tekanan dari luar, maka ikhlas adalah tentang bagaimana kita mengelola batin sendiri. Ia adalah seni untuk memberi tanpa menghitung, melepas tanpa menuntut, dan mencintai tanpa harus memiliki. Dalam tradisi Islam, ikhlas digambarkan sebagai kemurnian niat: melakukan segala sesuatu semata karena kebaikan itu sendiri, bukan karena pujian, jabatan, atau imbalan.
Al-Qur’an menegaskan hal ini: “Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali untuk menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya, dalam menjalankan agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5). Ikhlas adalah gerakan batin yang tidak terlihat. Tapi dari sanalah kualitas amal dan pengaruh sosial bermula. Seorang guru yang mengajar sepenuh hati, seorang ibu yang merawat anak dengan penuh cinta, seorang relawan yang bekerja diam-diam—semuanya adalah wajah-wajah ikhlas yang mungkin tidak viral, tetapi menyelamatkan banyak jiwa.
Buya Syafii Maarif pernah mengingatkan bahwa bangsa ini tidak akan bergerak ke arah yang lebih baik bila hanya dibangun dengan semangat kompetisi dan ambisi pribadi. Yang dibutuhkan adalah keikhlasan untuk melayani, bekerja dalam diam, dan mengambil keputusan bukan demi kepentingan sendiri, tetapi demi kemaslahatan bersama. Dan itulah keikhlasan yang sesungguhnya: keputusan moral untuk tetap lurus di jalan yang sepi.
Dalam realitas kita hari ini, keikhlasan kerap terpinggirkan oleh logika prestise. Segala sesuatu diukur dari berapa banyak yang didapat. Padahal dalam hidup, tidak semua yang penting bisa dihitung. Banyak hal yang bermakna justru tidak bernilai secara ekonomi. Maka, dalam momen Idul Adha ini, kita diingatkan kembali untuk membersihkan niat, bukan hanya dalam ibadah, tetapi juga dalam pengabdian dan relasi sosial sehari-hari.
Simbol Keadilan Sosial
Di permukaan, Idul Adha memang identik dengan penyembelihan hewan. Tapi jika ditarik lebih jauh, kurban sejatinya adalah simbol keberpihakan kepada mereka yang kurang beruntung. Daging dibagi bukan hanya untuk merayakan, tetapi juga untuk menyamakan. Ia adalah bentuk distribusi keadilan sosial yang bersumber dari empati.
Nilai keikhlasan dan kesabaran bertemu dalam tindakan kurban. Ia mengandung keberanian untuk melepaskan sesuatu yang berharga. Tapi lebih dari itu, ia mengajarkan pentingnya melihat orang lain sebagai bagian dari diri kita sendiri. Di tengah kesenjangan sosial yang makin menganga, pesan ini menjadi sangat penting.
Bukan hanya soal hewan kurban, tapi bagaimana kita memaknai kepemilikan. Apakah harta yang kita simpan telah memberi manfaat bagi sekitar? Apakah posisi yang kita duduki telah membawa keberkahan untuk banyak orang? Kurban yang sejati adalah kurban yang menumbuhkan keadilan, bukan sekadar menggugurkan kewajiban.
Menjadi Manusia yang Lapang
Sastrawan sufi Jalaluddin Rumi pernah menulis, “Luka adalah tempat cahaya masuk.” Dalam luka, kita belajar tentang sabar. Dalam kehilangan, kita belajar tentang ikhlas. Hidup bukan sekadar pencapaian demi pencapaian. Ia adalah perjalanan menjadi manusia yang utuh: yang tahu kapan harus menahan, kapan harus memberi, dan kapan harus berhenti sejenak untuk mendengar suara hati.
Idul Adha adalah pengingat bahwa hidup ini bukan tentang menggenggam, tapi tentang merelakan. Bukan tentang memenangkan semua hal, tapi tentang menyadari bahwa beberapa hal memang harus dilepas agar hidup bisa terus berjalan. Ia adalah ajakan untuk kembali jernih: membersihkan niat, merawat empati, dan memperluas cinta.
Dalam dunia yang semakin bising, kesabaran dan keikhlasan adalah kekuatan yang sunyi. Tapi dari sunyi itu, banyak luka bisa disembuhkan. Banyak kebuntuan bisa diurai. Dan banyak hubungan yang renggang bisa kembali menyatu.
Semoga dalam gema takbir yang kita dengar tahun ini, ada gema lain yang lahir di dalam diri: gema untuk lebih sabar dalam menjalani hidup, lebih ikhlas dalam memberi, dan lebih peduli pada sesama.
EDITOR: REYNA
Related Posts
Pratanda Berupa Kejadian Langka
Pemakzulan Gibran, Ijazah Palsu, dan Kasus Korupsi Lumpuhkan Jokowi
Jepang mengusulkan kerja sama pada elemen tanah jarang dalam pembicaraan tarif AS
Refleksi Atas Sepakbola, Nasionalisme dan Luka Kita
Pemerintah Perlu Memikirkan Jutaan Orang Kota Yang Tinggal Di Kontrakan Sempit
Idul Adha 1446 H di Tebingtinggi Disemarakkan Pawai Takbir Hingga Pemotongan Hewan Qurban
Dulu Teman, Sekarang Musuh
Raja Ampat Yang Kaya Akan Hayati Terbesar Di Dunia Itu Ada Tambang Nikel
Poligami Kepala DLH Kota Malang Menabrak Hukum
Mahasiswa S3 Bertanya
No Responses