Panja DPR Ambil Alih Komando Reformasi Penegak Hukum

Panja DPR Ambil Alih Komando Reformasi Penegak Hukum
Dr. H. Adi Warman., S.H., M.H., M. B.A. (kanan) bersama Anang Endro P Stafsus wilayah Madura.

Oleh : Dr. H. Adi Warman., S.H., M.H., M.B.A.
Ahli Hukum, Pengamat Politik dan Keamanan, Ketua Umum Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi (GN-PK).

Pembentukan Panitia Kerja (Panja) Reformasi Polri, Kejaksaan, dan Pengadilan oleh Komisi III DPR menjadi salah satu langkah legislasi paling penting dalam beberapa tahun terakhir. Inisiatif ini muncul di tengah meningkatnya ketidakpuasan publik terhadap prilaku penegak hukum dan tuntutan kuat untuk menghadirkan sistem peradilan yang bersih, transparan, dan akuntabel. Dalam konteks itu, Panja Reformasi dapat menjadi momentum baru untuk menata ulang arah pembaruan hukum nasional secara menyeluruh.

Dinamika penegak hukum Indonesia dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan adanya persoalan sistemik yang tak bisa lagi diatasi dengan pembenahan parsial. Persoalan tersebut mencakup:

1. Polri, dengan berbagai kritik tentang integritas penyidikan, ketertutupan proses, tumpang tindih kewenangan, dan ketergantungan pada diskresi yang sulit diawasi.

2. Kejaksaan, dengan kewenangan dominan dalam penuntutan tanpa mekanisme check and balance yang memadai, serta berbagai sorotan atas dugaan intervensi dan transparansi eksekusi putusan.

3. Pengadilan, yang bergulat dengan isu integritas hakim, disparitas pemidanaan, lemahnya pengawasan internal, serta dugaan praktik jual-beli putusan di sejumlah lini administratif.

Ketiga lembaga itu merupakan pilar utama criminal justice system. Ketika persolatannya terakumulasi, publik merasakan langsung dampaknya: lahirnya ketidakpastian hukum, munculnya rasa ketidakadilan, dan menurunnya kepercayaan terhadap negara sebagai penjamin kepastian dan keamanan. Di titik ini, Panja Reformasi dapat menjadi forum yang mempertemukan masalah, fakta, serta kebutuhan perbaikan dalam satu ruang evaluasi yang terstruktur.

Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai larangan anggota Polri aktif menduduki jabatan di luar struktur memperlebar ruang diskusi tentang batas-batas profesionalisme dan reformasi kelembagaan. Putusan itu memaksa kepolisian meninjau ulang praktik penugasan yang selama ini berjalan dalam wilayah abu-abu, sekaligus menyorot perlunya perbaikan tata kelola di seluruh sistem penegakan hukum.

Ketika putusan itu memantik perdebatan publik, Komisi III DPR memilih untuk tidak berada di pinggir panggung. Pembentukan Panja Reformasi menjadi jalan bagi legislatif untuk mengambil peran lebih besar dalam pengawasan dan pembenahan tiga institusi tersebut. Secara politik, Panja ini menandai titik balik: DPR tidak sekadar menjadi penonton, melainkan aktor aktif dalam proses reformasi penegakan hukum nasional.

Salah satu aspek penting dari Panja Reformasi adalah meningkatnya ruang kontrol terhadap proses dan tata kelola lembaga penegak hukum. Panja memberi peluang bagi DPR untuk:

– Mengidentifikasi akar persoalan secara menyeluruh, bukan berdasarkan kasus per kasus.

– Mengundang pejabat tinggi lembaga untuk mempertanggungjawabkan kebijakan dan tata kelola internal.

– Menggali sejauh mana transparansi dan integritas diimplementasikan dalam praktik penyidikan, penuntutan, dan peradilan.

– Menyusun rekomendasi struktural untuk memperbaiki koordinasi antarlembaga.

Dalam negara demokrasi, mekanisme pengawasan seperti ini sangat penting. Namun demikian, keberhasilan Panja sangat ditentukan oleh objektivitas, integritas kerja, dan kemauan politik seluruh anggota Komisi III untuk menjadikan proses ini sebagai kepentingan publik, bukan alat politik sektoral.

Dalam sistem presidensial yang kuat, arah reformasi hukum tetap memerlukan kepemimpinan eksekutif. Presiden memegang otoritas dalam menata kelembagaan, mengeluarkan peraturan, dan menyinergikan lintas kementerian/lembaga. Dengan demikian, langkah DPR melalui Panja Reformasi semestinya tidak dilihat sebagai persaingan, melainkan sebagai pelengkap dalam mekanisme check and balance.

Koordinasi yang baik antara DPR dan eksekutif dapat menghadirkan peta pembaruan yang lebih komprehensif. Dalam hal ini, Presiden memiliki ruang untuk:

– Menyatukan rekomendasi Panja dengan agenda pembenahan internal Polri, Kejaksaan, dan MA.

– Menyederhanakan regulasi dan memperbaiki desain kelembagaan.

– Mendorong peningkatan kualitas SDM, integritas, dan teknologi penunjang.

Memastikan bahwa hasil Panja tidak hanya bersifat normatif, tetapi menjadi kebijakan operasional di lembaga penegak hukum.
Dengan kata lain, keberhasilan Panja Reformasi akan jauh lebih kuat jika selaras dengan visi dan langkah strategis Presiden dalam membangun penegak hukum yang modern dan terpercaya.

Dalam menjalankan evaluasi, Panja Reformasi juga perlu memperhatikan batas-batas independensi lembaga peradilan dan penegakan hukum. Transparansi tidak boleh berubah menjadi intervensi. Pengawasan tidak boleh mengarah pada tekanan politik. Lembaga penegak hukum, terutama pengadilan, harus tetap menjaga prinsip imparsialitas sebagai tulang punggung demokrasi.

Namun independensi tidak berarti kebal dari pengawasan. Publik berhak mengetahui apakah lembaga penegak hukum bekerja sesuai mandat, bebas dari konflik kepentingan, serta memiliki sistem pengawasan internal yang efektif. Sejauh berjalan pada koridor tersebut, Panja Reformasi justru dapat memperkuat independensi lembaga peradilan dengan menegakkan akuntabilitas.

Panja Reformasi dapat menjadi titik awal bagi pembenahan menyeluruh, dengan beberapa agenda strategis:

1. Penataan ulang kewenangan penyidikan, penuntutan, dan peradilan.

2. Standarisasi prosedur yang jelas dan transparan di seluruh lini.

3. Penguatan sistem pengawasan eksternal dan internal, terutama pada pengadilan.

4. Integrasi teknologi informasi, termasuk sistem pelaporan dan monitoring berbasis digital.

5. Reformasi budaya organisasi, untuk memperkuat integritas, profesionalisme, dan pelayanan publik.

Reformasi penegak hukum harus bersifat menyeluruh, tidak hanya menyentuh struktur, tetapi juga perilaku, budaya kerja, dan tata kelola yang mendukung kepastian hukum.

Pada akhirnya, yang dinantikan publik bukan hanya kritik, tetapi perubahan yang nyata. Panja Reformasi harus mampu menghasilkan rekomendasi yang kuat, terukur, dan dapat diimplementasikan. Rekomendasi tersebut harus memperkuat keadilan substantif, perlindungan warga negara, serta meningkatkan kepercayaan terhadap lembaga penegak hukum.

Reformasi penegak hukum bukanlah agenda kelompok, tetapi kebutuhan bangsa. Pembentukan Panja ini dapat menjadi momentum bersama untuk memastikan bahwa sistem hukum berjalan selaras dengan cita-cita konstitusional: menghadirkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K