Rihlah Peradaban,Perjalanan Penuh Makna Di Turki Dan Spanyol (Seri-4): Gelar Zillullahi fil Ardhi

Rihlah Peradaban,Perjalanan Penuh Makna Di Turki Dan Spanyol (Seri-4): Gelar Zillullahi fil Ardhi
Ilustrasi Sultan Sulaiman al Qanuni

Tulisan berseri ini diambil dari buku menarik berjudul “Rihlah Peradaban, Perjalanan Penuh Makna di Turki dan Spanyol” yang ditulis oleh Biyanto, Syamsudin, dan Siti Agustini. Ketiganya adalah fungsionaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur.

Buku ini mengisahkan perjalanan di Turki dan Spanyol, dua tempat yang penuh dengan memori kejayaan Islam dimasa lalu. Buku ini sangat menarik. Selamat mengikuti serial ini.

Cover buku Rihlah Peradaban, Di atas kapal, menyusuri Selat Bosporus 

SERI-4

Menurut sebagian ahli, tradisi gelar raja sebagai bayang-bayang Tuhan di bumi sudah ada sejak akhir kekhilafahan Bani Abbas. Tradisi ini diadopsi dari kepercayaan masyarakat Persia sebelum Islam.

Khalifah pantas menyandang gelar Zillullah fil Ardhi, karena posisinya berada di puncak kekuasaan, di atas para sultan. Mengutip pendapat Ibnu Abi Ashim dalam As-Sunnah, Muhammad Faris Jaradat mengatakan bahwa pemimpin yang pertama kali ingin disanjung sebagai Zillullah fil Ardhi adalah salah satu khalifah Dinasti Umayyah, yakni Abdul Malik bin Marwan.

Hal ini ia sampaikan saat beragitasi untuk Ilustrasi Abdul Malik bin Marwan (Facebook MAIWPHQ) memerangi pendukung Abdullah bin Zubair (As-Sunnah, II/487). Pada saat yang sama di ibukota wilayah kekuasaannya mulai menyebar hadits Nabi SAW, As-Sulthanu zillullahi fil ardhi.

Ilustrasi Abdul Malik bin Marwan (Facebook MAIWPHQ)

Menurut Jaradat, fakta-fakta itu menunjukkan adanya kerja sistematis untuk menanamkan akidah Jabariyah dalam masyarakat. Saat itu pemerintah gagal menciptakan kedamaian. Dengan akidah Jabariyah rakyat dibungkam nalar kritisnya. Sebagaimana dituturkan oleh al Balazuri di bawah ini:

“Menceritakan kepada saya Muhammad bin Sa’ad, dari Abi Nu’aim. Menceritakan kepada kami Yunus bin Abi Ishaq dari Abi Ishaq, ia berkata: saya dan al-Aswad bin Yazid pada hari pembunuhan Mus’ab bin Zubair oleh Abdul Malik bin Marwan. Tatkala Abdul Malik bin Marwan ingin menuju Syam, ia pidato di hadapan orang banyak. Namun masyarakat
kurang loyal kepada kekuasannya. Kemudian ia berkata pada mereka bahwa sultan adalah bayang-bayang Tuhan di bumi. Ia memaksa masyarakat untuk loyal dan mendukung, (Ansab al-Asyraf lil Balazuri, VII/111).”

Baca Juga:

Pada era Daulah Abbasiyah penggunaan konsep As-Sulthanu Zillullahi fil Ardhi, semakin menjadi-jadi. Adalah Syaikh Yahya bin Aktsam at-Taimi yang mendorong Khalifah al-Makmun untuk menggunakan gelar tersebut. Sejak saat itu para khalifah merasa bahwa mereka memperoleh mandat Ilahi untuk memerintah umat Islam.

Perlahan-lahan konsep ini merangkak lebih dalam. Yaitu, keyakinan adanya unsur rububiyyah dalam diri para khalifah (https://www. ida2at. com/ author/mohamed-jaradat).

Meskipun kekhilafahan Bani Abbas telah runtuh, jabatan khalifah tetap di tangan keturunan mereka. Apalagi mereka berasal dari suku Quraisy. Hal itu sesuai dengan doktrin politik Sunni: Para khalifah harus dari keturunan Quraisy. Mereka diperebutkan oleh para sultan untuk legitimasi kekuasaan. Khalifah hanya sebagai simbol. Kekuasaan politik di tangan para sultan.

Sejak tahun 1517, di masa Sultan Salim I (1512-1520), khalifah yang ada di Mesir diboyong ke Turki dan diambil alih oleh Sultan Salim I sendiri
dari tangan keturunan Abbasiyah. Sejak saat itu pemimpin Turki Usmani
menyandang dua gelar sekaligus. Yaitu gelar sultan sebagai pejabat
politik dan gelar khalifah sebagai pejabat agama.

Pengganti Sultan Salim I adalah Sultan Sulaiman al-Qanuni (1520-1566). Pada zamannya, kekuasaan khilafah Utsmani meliputi wilayah yang sangat luas. Wilayah yang belum pernah terbayangkan sebelumnya dan bahkan terluas di antara kerajaan-kerajaan yang ada di dunia.

Raja-raja Eropa menyebut Sulaiman al-Qanuni sebagai Sultan Agung (As-Sulthan al-Azim). Sulaiman al-Qanuni sendiri dalam surat-suratnya yang dikirim kepada kerajaan-kerajaan yang menjadi musuhnya menggunkan gelar-gelar yang dahsyat. Di antaranya pada surat yang ia kirim kepada raja Perancis: Ilustrasi Sultan Sulaiman al Qanuni (Republika.id)

Ilustrasi Sultan Sulaiman al Qanuni (Republika.id)

“Saya adalah sultannya para sultan, penguasanya para penguasa, pemilik mahkota raja-raja, bayang-bayang Allah di semua wilayah bumi. Saya adalah penguasa laut putih, hitam, dan merah. Penguasa Anatolia, Romalia (Yunani, Macedonia, Abania, Kosovo, Bulgaria, Bosnia), Armenia,
wilayah Dzul Qadariyah (Yerussalem Timur), wilayah Diyar Bakar (Kurdistan), Azerbaijan, wilayah non-Arab, Syiria, Mesir, Makkah, Madinah, Palestina, semua wilayah Arab dan non-Arab, wilayah Majar (Hongaria, Slowakia, Kroasia dan Serbia), dan al-Qaishar, dan wilayah-wilayah lain yang telah saya taklukkan. Walhamdu lillahi Allahu Akbar. Inilah suratku Sultan Sulaiman bin Sultan Salim bin Sultan Bayazid, kepada Fransais penguasa wilayah Perancis.”

Dengan gambaran di atas sehingga wajar jika ditemukan banyak kaligrafi yang berisikan konsep sultan sebagai bayang-bayang Allah di sudut-sudut Istana Topkapi, ataupun di masjid dan masoleum peninggalan khilafah Turki Utsmani.

Yang menarik gelar tersebut juga ditemukan di istana Alhambra, istana peninggalan Dinasti Nashriyyah (1232-1492) atau Bani Ahmar di kota Granada. Pendiri Dinasti Nashriyyah (1232-1492) ialah Muhammad ibn Yusuf ibn Nashr yang lebih dikenal dengan nama Ibn al-Ahmar.

Karenanya, nama itu menjadi nama lain bagi keluarga ini, yaitu Banu al-Ahmar. Bani Nashr ini merupakan keturunan Sa’ad bin Ubadah, seorang sahabat Rasulullah SAW, dari suku Khazraj di Madinah.

Untuk pembuktian bahwa dirinya adalah keturunan Sa’ad bin Ubadah, ia
membuat prasasti dalam bentuk puisi-puisi. Kaligrafi puisi tersebut tertulis melingkar indah, menghiasai pintu ruangan khusus yang disediakan untuk menyambut para tamu, sebagaimana berikut:

“Aku ibarat mihrab tempat shalat
Tugasnya mengantarkan  kebahagiaan
Kau meyangka ceret yang di sana
Tegak berdiri puaskan para hamba
Setiap kali selesai dari padanya
Wajib diulang perbuatannya
Berkat junjunganku putra Nashr
Moga Allah memuliakan hamba-Nya
Sungguh tumbuh dari tokoh Khazraj
Dia adalah Sa’ad bin Ubadah”

Untuk pembuktian bahwa dirinya adalah raja yang punya kuasa politik dan keagamaan, ia juga membuat prasasti dalam bentuk puisi-puisi. Kaligrafi dari puisi itu tertulis horizontal menghiasai bagian atas pintu ruang kerja raja atau the mexuar.

Di antaranya tertulis Zillullahi ‘ala al-Jami’ (Bayang-bayang Tuhan atas semuanya), (Jose Miguel Puerta Vilchez, 2015: 46, 107). Bunyi dari puisinya adalah sebagai berikut:

Duhai pemikul kerajaan yang megah
Menakjubkan karyamu mempesona
Kau peroleh kemenangan yang nyata
Paling indahnya kreasi dan kreatornya
Monumen Muhammad sang pemuka
Bayang-bayang Tuhan atas semuanya

BERSAMBUNG

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K

2 Responses

  1. sex womenOctober 15, 2024 at 6:49 am

    … [Trackback]

    […] Read More on on that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/rihlah-peradabanperjalanan-penuh-makna-di-turki-dan-spanyol-seri-3-gelar-zillullahi-fil-ardhi/ […]

  2. free bdsm videosNovember 13, 2024 at 3:56 pm

    … [Trackback]

    […] Find More Information here on that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/rihlah-peradabanperjalanan-penuh-makna-di-turki-dan-spanyol-seri-3-gelar-zillullahi-fil-ardhi/ […]

Leave a Reply