Cindelaras Nekad Ikut Adu Jago, Meskipun Raja “Cawe-Cawe” Menjegalnya – (Bagian 5)

Cindelaras Nekad Ikut Adu Jago, Meskipun Raja “Cawe-Cawe” Menjegalnya – (Bagian 5)
Ilustrasi: Cindelaras dan ayam jagonya

Oleh: Budi Puryanto

Nama Cindelaras makin terkenal. Semua orang seantero Jenggala membicarakan namanya. Bahkan sudah menyebar hingga negeri Daha, negeri tetangg yang berada di sebelah barat sungai.

Karena adu jago merupakan kegemaran masyarakat waktu itu, Cidelaras dan ayam jagonya menjadi buah bibir tak habis-habisnya. Ada saja bahan yang dibicarakan. Dari pertarungan satu ke pertarungan yang lainnya. Bagi yang suka kadang terlalu dilebihkan. Namun ada juga yang  menganggapnya ayam jago itu tidak wajar. Ayam siluman. Atau dikatakan menggunakan sihir.

Ada yang senangnya membicarakan topik ayam jagonya. Yang tak terkalahkan dalam bertarung. Kluruknya yang keras, melengking, dan juga merdu. Bulunya indah berwarna-warni. Badannya yang besar, kakinya yang kokoh, paruhnya kuat , jalunya lancip, sayapnya kalau “ngabruk” kuat dan keras, lawannya bisa langsung jatuh tersungkur.

Ada yang senangnya membicarakan Cindelaras, perawakannya yang masih muda, ganteng, kulit bersih, sopan, tenang, menghormati orang lain. Hormat kepada orang yang lebih tua. Rendah hati dan tidak sombong. Juga, yang tidak banyak diketahui oran, kematangan jiwanya pada usia yang begitu muda.

Ada yang suka membicarakan kedermawanannya. Memberikan uang hasil dari taruhan adu jago. Dia tidak pernah pasang taruhan. Bebotoh yang membiayai. Dia mendapat bagian dari kemenangannya. Dan, dari hasil itu, dia bagikan semua kepada orang-orang yang lebih membutuhkan.

Cerita Cindelaras dan ayam jagonya akhirnya sampai ke jantung istana Jenggala. Ada yang terganggu dan tidak senang dengan munculnya Cindelaras. Mereka dirugikan. Karena selalu kalah dalam taruhan. Ini kelompok bebotoh yang mendapat perlindungan dari sang Tumenggung Jenggala, Anggawiryo.

Baca Juga:

Sejak kemunculan Cindelaras upeti yang disetor makin kecil. Pernah suatu saat para bebotoh itu tidak bisa setor upeti sama sekali. Karena mereka kalah terus. Dan jumlah kalahnya sangat besar. Sehingga tidak ada yang bisa disetorkan. Bahkan karena kehabisan uang, untuk makan diwarung saja mereka masih berhutang. Untungnya pemilik warung baik hati dan rela tidak dibayar dulu. Padahal untuk ukuran warung kecil di desa, mereka tidak mengambil keuntungan besar. Bisa terus berjualan setiap hari saja rasanya sudah bersyukur.

Dalam kondisi seperti itu, Cindelaras yang memang peka terhadap keadaan masyarakat, tidak jarang dia memberikan uang hasil pertarungan adu jago kepada pemilik warung. Dengan pesan, bagi mereka yang tidak bisa membayar, tidak usah ditagih. Cindelaras memberikan sejumlah uang yang cukup besar. Sehingga pemilik warung senang sekali.

Mendengar cerita-cerita Cindelaras yang demikian itu membuat Tumenggung Anggawiryo makin marah. Dihadapan para bebotohnya, dia mengatakan,”Anak ini dan ayam jagonya harus dikalahkan. Carilah cara untuk mengalahkan dia. Kalau perlu dipaksa untuk mengalah. Agar kita bisa mendapat uang besar untuk menutupi upeti yang terus merosot saat ini. Bisa mati aku kalau Permaisuri tahu hal ini. Selama ini masih saya tutupi. Sementara ini setiap kebutuhannya masih bisa saya penuhi. Tapi kalau upeti adu jago terus merosot, uang darimana lagi untuk memenuhi kebutuhan Permasuri. Anda tahu kan kebutuhan Permaisuri itu besar sekali. Untuk pesta, mengundang penari, menyediakan makan minum gratis, untuk membeli perhiasan yang mahal-mahal.”

“Ditambah lagi kebiasaan hidup pangeran muda yang sangat boros. Kenginginannya tak bisa dibendung. Kesukaannya beli kuda, tak bisa dihentkan. Kuda pilihannya herganya mahal-mahal. Juga, kesukaannya bermain dengan gadis-gadis muda, membelikan perhiasan dan pakaian untuk gadis-gadis itu. Semua membutuhkan uang yang banyak. Kas kerajaan sudah terkuras habis untuk itu.”

“Satu-satunya upeti yang besar hanya dari adu jago ini. Kalau sumber uang dari sini mampet, aku tidak tahu lagi harus bagaimana. Mampuslah kita semua,” kata Tumenggung.

Para bebotoh besar yang ada dihadapan Tumenggung hanya diam menunduk. Tidak tahu lagi apa yang mesti dikatakannya. Pikirannya gelap. Malu sekali, apalagi makan di warung saja mereka tidak mampu bayar. Justru Cindelaras yang membayarnya, mesti tidak secara langsung.

Suasana dirumah Katumenggungan itu senyap. Hanya suara jangkrik yang terdengar makin nyaring. Bahkan, hembusan nafas para bebotoh pun terdengar jelas. Menyiratkan kegelisahan yang tak berujung.

“Kita harus melakukan sesuatu. Apapun, yang penting bisa mendapatkan uang besar dari pertarungan adu jago,” kata Tumenggung Anggawiryo setelah bicara panjang.

Sebagai orang kepercayaan nomor satu sang Permaisuri, keadaan ini membuatnya benar-benar khawatir. Belum pernah dia sekhawatir ini. Didepan matanya, kedudukannya sebagai Tumenggung, yang memiliki kekuasaan besar mengalahkan kekuasaan Patih, benar-benar diujung tanduk. Bila Permaisuri marah, sewaktu-waktu dia bisa digantikan. Bagi Permaisuri itu hal mudah. Karena dia bisa mengendalikan Raja. Dia adalah raja yang sebenarnya.

Kecantikannya, kecerdasannya, namun juga kelicikannya, membuat Raja tak berkutik. Semua keputusan kerajaan ada dibawah kendali Permasuri. Bagi yang menentang, akan disingkirkan secara halus atau kasar. Maka pegantian jabatan pungawa di kerajaan Jenggala, bisa terjadi kapanpun Permaisuri mau.

Baca Juga:

Situasi demikian membuat para punggawa tak lebih dari seorang cecunguk, penjilat. Yang menyediakan dirinya rela untuk memenuhi ambisi kekuasaan tanpa batas dari sang Permaisuri. Ketakutan kehilangan jabatan dan kemewahan telah membuat para punggawa itu ciut hatinya. Tak punya keberanian meluruskan tata kelola kerajaan yang salah. Tak punya ide-ide besar membangun. Setiap hari yang dikerjakan para punggawa itu hanya membuat Permaisuri senang. Itu untuk menjamin kedudukannya aman.

“Hamba ada gagasan kanjeng Tumenggung,” kata seorang bebotoh, yang juga punggawa penting kerajaan.

“Katakan,” jawab Tumenggung singkat.

“Kita rampok saja mereka yang menang dalam pertandingan adu jago itu. Kita pancing dengan taruhan besar. Lawan kita pasti menjagokan ayam Cindelaras. Kalau kita kalah, kita buat keributan. Lalu kita rampok uang para bebotoh yang menang itu.”

“Itu butuh perencanaan yang matang. Tidak mudah. Karena kalau terjadi keributan akibatnya panjang. Akan menimbulkan ketakutan para bebotoh. Dan juga penonton. Bebotoh kita perlukan untuk kelancaran pasokan upeti. Dan penonton? Adu jago adalah satu-satunya hiburan bagi mereka dari penderitaan kemiskinan. Bila tidak ada arena adu jago lagi, kemiskinan rakyat bisa menjelma menjadi kemarahan. Juga, para bebotoh, dia bisa nekad menjadi maling atau permapok beneran. Pikirkan itu,” jawab Tumenggung.

“Kita bunuh saja Cindelaras dan ayamnya itu, Kanjeng Tumenggung. Apa susahnya,” kata salah satu diantara mereka.

“Memang membunuh anak muda itu tidak susah. Kita punya pasukan. Sekali gerebek selesai. Bukan itu,” wajah Tumenggung menegang, tampaknya dia serius sekali menanggapi usul ini.

“Anak muda ini sudah menjelma bak dewa turun dari kahyangan. Disukai bahkan dielukan masyarakat. Apalagi kebiasaan memberikan uang hasil taruhan kepada orang-orang miskin, orangtua, para janda, dan para pengembara pencari ilmu, secara tidak sadar anak muda ini telah menjadi pahlawan dan tokoh idola rakyat.”

“Lihatlah di gardu-gardu desa, dindingnya diwarnai gambar ayam jago Cindelaras. Pergilah ke warung-warung, setiap hari tak habs-habisnya rakyat membicarakan Cindelaras,” terang sang Tumenggung.

“Membunuh Cindelaras bukan gagasan bagus. Berbahaya. Rakyat bisa marah dibuatnya. Kemarahan rakyat akan mudah ditunggangi musuh-musuh negara.”

“Kita bunuh saja ayam jagonya saat bertanding. Kita serang dengan tenaga dalam. Kita pilih jawara terbaik di Jenggala. Saya kenal mereka. Bahkan ada diantara mereka pernah berguru ke Calon Arang,” usul seorang lagi.

“Kalau jago itu mati saat bertanding tidak ada yang disalahkan. Selain itu, kita juga akan menang besar,” lanjutnya.

Tumenggung Aggawiryo tersenyum kecil. Tapi itu cukup bagi mereka yang sedang menghadapnya untuk sedikit lega.

“Ini gagasan bagus. Sekali kerja dapat hasil banyak,” kata Tumenggung Anggawiryo yang lalu menambil kertas dan mencoret-coretnya. Dia menerangkan rencananya dengan skema-skema yang nampaknya dipahami oleh para bebotoh itu.

Baca Juga: 

Mereka lebih suka disebut bebotoh, tapi sebenarya adalah para punggawa kerajaan. Awalnya mereka risih sebagai punggawa yang  kerjaannya menjadi bebotoh adu jago. Tapi setelah tahu hasilnya besar akhirnya dia larut dan menikmati. Justru sekarang tidak mau dipindah kerja.

Setelah minum kopi yang sudah dingin, karena tidak berani meminumnya, pertemuan itu bubar. Mereka berpamitan pulang ke rumah masing-masing.

Sementara itu ditempat lain, malam itu sang Patih sedang menerima laporan telik sandinya. Seorang prajurit pilihan yang dianggapnya setia pada negara dan dapat dipercaya. Dia adalah orang kepercayaan sang Patih.

Telik sandi itu menjelaskan secara rinci tentang sosok Cindelaras, yang saat ini menjadi tokoh populer di negeri Jenggala. Tidak ada yang tercecer dari laporan itu. Sosokya, ayam jagonya, kejadian tiap pertarungan, sikap masyarakat terhadapnya, kesukaannya bagi-bagi uang setelah adu jago, juga teman barunya, Aryadipa.

Sang Patih mendengarkan laporan telik sandi itu dengan seksama. Dia tidak mau ketinggalan satu patah katapun.

“Mengapa dia menginap ditempat itu. Bukankah sudah dekat dari kotaraja. Apakah ada rencana pergi ke kotaraja,” tanya sang Patih.

“Ampun kanjeng Patih. Hamba belum bisa mengetahui secara pasti apakah dia akan ke kotaraja. Tapi bisa saja dia hanya menginap sebentar untuk istirahat. Tidak mungkin dia berlama-lama disitu, Kanjeng Patih,” ujar telik sandi itu.

“Mengapa.”

“Ayam jagonya itu tidak bisa diam terlalu lama. Dia butuh bertanding. Ayam itu kelihatan senang sekali saat bertanding. Tidak ada rasa takutnya sedikitpun. Tapi cara bertarungnya memang unik. Hebat. Menarik sekali untuk ditonton. Makanya rakyat menyukainya,” jawab telik sandi itu. Sementara sang patih hanya diam saja menikmati penjelasan itu.

Mukanya tanpa berubah. Datar saja. Tapi dahinya sedikit berkerut, tanda dia memikirkan sesuatu. Lalu memandang keatas. Sekelebat dia ingat kejadian masa lalu, saat dia mendapat tugas dari sang Raja untuk membunuh Permasuri waktu itu.

“Apakah ini anak ibu Suri yang saya tinggalkan di hutan belantar itu. Kalau menilik dari usianya sangat mungkin. Tapi bagaimana dia bisa menjelma menjadi tokoh muda yang sangat populer dan disenangi rakyat. Lalu untuk apa dia kesini mendekati kota raja. Apakah akan menghadap sang Raja, dan mengatakan siapa dirinya,” katanya dalam hati.

“Aku ingin menemui dia secara langsung, dan berbicara dengannya. Saya ingin tahu siapa orangtuanya. Dan darimana dia berasal. Aturlah,” kata sang Patih.

“Hamba Kanjeng Patih, saya akan mencari informasi dimana dia akan bertanding adu jago dalam waktu dekat ini. Kanjeng Patih bisa melihat pertandingan itu dengan menyamar sebagai rakyat biasa. Dan bisa berbincang leluasa dengan Cindelaras,” jawab telik sandi itu.

“Baiklah, aku tunggu. Ingat, jangan sampai pebicaraan ini diketahui orang lain. Siapapun. Ini hanya antara kita berdua,” kata Patih sambil memegang dagunya.

Tengah malam, telik sandi itu langsung minta ijin meninggalkan kepatihan.

Sementara sang Patih justru menjadi galau. Benaknya dipenuhi berbagai pertanyaan. Sosok Cindelaras benar-benar telah menyedot perhataiannya. Dia berharap Cindelaras bukanlah anak Ibu Suri yang telah diselamatkannya dulu. Sehingga kemunculannya tidak perlu melibatkan dirinya secara langsung.

Hingga matahari terbit dia tidak bisa tidur. Pun setelah matahari naik. Baru setelah matahari dipuncak singgasananya siang itu, sang Patih tertidur di  kursi.

BERSAMBUNG

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K

3 Responses

  1. PGSLOT โปรโมชั่นอัดแน่นNovember 18, 2024 at 6:28 pm

    … [Trackback]

    […] Find More to that Topic: zonasatunews.com/terkini/cindelaras-nekad-ikut-adu-jago-meskipun-raja-cawe-cawe-menjegalnya-bagian-5/ […]

  2. videochatNovember 19, 2024 at 2:33 pm

    … [Trackback]

    […] Find More Information here on that Topic: zonasatunews.com/terkini/cindelaras-nekad-ikut-adu-jago-meskipun-raja-cawe-cawe-menjegalnya-bagian-5/ […]

  3. Food Recipe VideoDecember 27, 2024 at 6:34 pm

    … [Trackback]

    […] Read More Info here to that Topic: zonasatunews.com/terkini/cindelaras-nekad-ikut-adu-jago-meskipun-raja-cawe-cawe-menjegalnya-bagian-5/ […]

Leave a Reply