Geneologi Politik dan Kosmologi Politik Indonesia (Bagian-3)

Geneologi Politik dan Kosmologi Politik Indonesia (Bagian-3)
Dr. Mulyadi (Opu Andi Tadampali), Dosen Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia

Oleh: Mulyadi (Opu Andi Tadampali)
Dosen Ilmu Politik Universitas Indonesia

III. Integrasi Kosmologi Politik

Sungguh saya tak mengerti mengapa masih saja ada satu-dua orang yang menanam kebencian tak berdasar kepada negara-negara lama: negara kerajaan, kesultanan, dan kebangsawanan Nusantara. Padahal negara-negara lama ini sudah mengalami transformasi politik begitu baik hingga tiba pada pemerintahan demokratis. Pada Abad Ke-15, misalnya, negara Kerajaan Wajo sudah selesai bertransformasi menjadi kerajaan modern yang bercorak demokrasi, dimana nilai-nilai demokras: kebebasan, persamaan, dan kesetaraan politik warga negara telah menjadi inti dari kontrak sosial antara rakyat dan penguasa. Nilai-nilai yang disepakati itu lebih tinggi daripada sabda dan kedudukan Raja (Matoa) Kerajaan Wajo. Semboyangnya yang mashur hingga hari ini, “Merdeka orang-orang Wajo, hanya Adat yang Dipertuan” adalah artefak politik amat bersejarah yang diperolehnya dari masa lampau. Semboyang negeri La Maddukkeleng ini berasal dari pemikiran politik seorang negarawan Kerajaan Wajo modern Abad XV La Tiringeng Totaba yang diproklamirkan dalam kalimat singkat, padat, dan mudah dipahami oleh siapapun, yakni “orang-orang itu bebas, bebas sejak dilahirkan, negerilah yang abdi dan hanya adat atas persetujuan mereka yang dipertuan”. Sebelum bertransformasi menjadi negara kerajaan moderen yang demokratis, Kerajaan Wajo pada Abad XIV pernah diperintah oleh La Pateddungi Tosamallangi, seorang raja (Batara Wajo III) yang sangat tidak bermoral. Akan tetapi sistem politiknya yang sudah baik membuat Batara Wajo III ini dipaksa turun tahta dan dibunuh setelah tertangkap dalam pengejarannya.

Dengan penggalan kisah pendek di atas, saya sangat serius mengingatkan bahwa kelahiran Indonesia bukanlah kemenangan demokrasi (republik) dalam perang panjang melawan monarki (kerajaan), teokrasi (kesultanan), dan aristokrasi (kebangsawanan). Melainkan kemenangan dari integrasi empat kekuatan kosmologi politik bangsa dan negara: (1) kerajaan (monarki); (2) kesultanan (teokrasi); dan (3) kebangsawanan (aristokrasi), dan (4) republik (demokrasi) dalam perang berlarut melawan penindasan kolonialisme, imperialisme, dan pendudukan. Olehnya itu absurd kalau ada yang mengatakan bahwa Kaum Republik menanam kebencian terhadap bangsa-bangsa lama dan negara-negara lama Nusantara. Sebaliknya, justru negara kerajaan, negara kesultanan, dan negara kebangsawanan menjadi impian untuk “pulang-kembali” manakala pemerintahan Republik jatuh ke tangan mobokrasi (mobocratein) atau setelah persekongkolan oligarkis, despotis, dan feodalis membajak demokrasi dan menyandera pemerintahannya melalui partai dan pemilu.

Mari kita bayangkan sama-sama, apa kira-kira yang terjadi andai saja bangsa-bangsa lama dan negara-negara lama menolak bergabung ke dalam bangsa dan negara baru Republik? Saya tak perlu berbelit-belit menjawabnya, cukup saya mengatakan bahwa Indonesia akan kesulitan berdiri dan diterima luas, untuk tidak mengatakan mustahil ada seperti sekarang ini. Ada banyak alasan absah yang bisa digunakan bangsa-bangsa lama dan negara-negara lama untuk menolak bergabung ke dalam Republik Nusantara, salah satunya yang pertama dan paling logis adalah bukan Indonesia yang pernah dijajah oleh para penjajah asing. Merekalah: bangsa-bangsa lama dan negara-negara lamalah sejatinya yang dijajah oleh kolonialisme VOC selama 197 tahun (1602-1799), imperialisme Belanda selama 142 tahun (1800-1942), dan pendudukan Jepang selama kurang lebih tiga tahun (1942-1945. Andai saja bangsa-bangsa lama dan negara-negara lama ini menolak bergabung sejak Jepang rata dengan tanah pada tahun 1945 hingga lahirnya Perjanjian Damai Perang Dunia II San Fransisco pada bulan Agustus 1951, yang salah satu isinya mewajibkan Jepang mengembalikan tanah jajahahnya kepada pemiliknya, maka dapat dipastikan seluruh negara-negara lama di Nusantara ini: negara kerajaan, negara kesultanan, dan negara kebangsawanan merdeka dengan sendirinya.

Akan tetapi bukan itu yang terjadi. Para pemimpin negara-negara lama tidak berambisi pada kekuasaan. Justru kekaguman kaum Republik terhadap bangsa-bangsa lama dan negara-negara lama adalah kesediaannya bergabung atau berintegrasi ke dalam cita-cita dan tujuan Republik tanpa konsesi kekuasaan apapun. Demi tegaknya Republik di atas cita-cita kesejahteraan dan kemakmuran warganya, bangsa-bangsa lama dan negara-negara lama tidak hanya menyerahkan seluruh kekuasaan, penduduk, dan wilayahnya, tetapi juga menyerahkan harta-bendanya paling berharga, seperti berlian, emas, dan uang. Dengan lain perkataan, kehebatan sistem politik Republik Nusantara adalah kemampuannya mengintegrasikan kosmologi politik bangsa-bangsa lama dan negara-negara lama cukup dengan penawaran pada kesamaan cita-cita dan tujuan politik. Bandingan dengan kejatuhan negara-negara lama pada abad pertengahan dan kemerosotan negara-negara baru dewasa ini yang ditandai oleh warganya yang terbelakang dalam segala hal, justru disebabkan oleh para pemimpinnya yang tidak beradab setelah dijangkiti virus oligarkis, despotis, absolutis, dan feodalis. Sedangkan kejatuhan bangsa-bangsa lama dan negara-negara lama di Nusantara yang tak terelakkan hanya semata-mata karena penjajahan berlarut sejak kolonialisme VOC dan imperialisme Belanda hingga pendudukan Jepang.

Kemampuan mengadaptasi dan mengintegrasikankan empat kosmologi politik ke dalam sistem politik dan sistim pemerintahannya menjadi ciri khas sekaligus kehebatan kekuatan kosmologi politik Republik Nusantara. Empat kosmologi politik yang saya maksud itu, yaitu: (1) kosmologi politik monocratein, yang menempatkan para Raja sebagai pemimpin tertinggi bangsa dan negara monarki merupakan repsentasi Titisan Tuhan; (2) kosmologi politik teocratein, yang menempatkan para Sultan bersama otoritas agama sebagai pemimpin tertinggi bangsa dan negara teokrasi merupakan repsentasi Wakil Tuhan; (3) kosmologi politik aristocratein, dimana para Bangsawan atau Aristokrat sebagai pemimpin tertinggi bangsa dan negara aristokrasi merupakan repsentasi Pelayan Tuhan; dan (4) kosmologi politik democratein, yang menempatkan otoritas sipil sebagai pemimpin tertinggi bangsa dan negara demokrasi merupakan repsentasi Suara Tuhan.

Mari kita mundur lagi ke belakang. Di era bangsa-bangsa lama dan negara-negara lama yang menganut kosmologi politik monocratein, teocratein, dan aristocratein, tampak kualitas peradaban begitu mempesona dan mengesankan. Di negara teokrasi, musik dan nada yang mengandung kebajikan, ketenteraman dan keharmonisan hidup, serta semangat perjuangan menyebar luas di semua lapisan masyarakat. Tak terdengar lantunan musik dan nada yang dapat membakitkan birahi, perselingkuhan, atau bentuk perzinahan lainnya. Di masing-masing negara, disamping budaya tutur yang cukup informatif dan akurat, juga berkembang seni tulis menulis dan sastra berkualitas tinggi yang disumbang oleh aksara kuno yang tidak bertele-tele dan bahasa tingkatan tinggi. Di negara Kedatuan Luwu, tempat asal-usul orang tua laki-laki saya, misalnya, karya sasta kuno ternama La Galigo terbukti mengalahkan karya lagendaris Mahabarata dari India. Silahkan telusuri sendiri karya sastra bermutu tinggi ini.

Di bidang politik dan hukum, beberapa syarat Raja yang bisa memerintah di sepakati. Bagi monarki yang turun temurun, Pangeran harus berasal dari “pucuk daun” yang diharapkan yang bermakna ia tak memiliki cacat moral. Syarat lainnya berupa kemampuan lebih dalam menyelamatkan penduduknya sudah diperolehnya atas bimbingan para ahli spritual berkelas tinggi. Penduduk tidak perlu tenggelam dalam kecemasan yang berlebihan, karena disamping minimnya penyebab bencana, juga doa para raja dan sultan di musim hujan dan musim kemarau sangat manjur. Di musim hujan, doa raja bersama ahli spritual dapat memindahkan hujan ke tempat lain untuk mencegah datangnya banjir bandang yang dapat melululantahkan semuanya. Di musim kemarau juga begitu, doa penguasa sangat manjur dalam mendatangkan hujan untuk mencegah kemaran panjang yang membawa bencana kelaparan. Di negeri-negeri tentangganya juga demikian, para raja, sultan, dan aristokrat umumnya dapat memerintah dengan jujur, adil, bijak, dan berani karena selain didampingi oleh para penasehat relijius dan inteletual yang mumpuni, juga sudah mendapat ajaran moralitas politik dari para pendahulunya.

Adapun raja yang terbukti sangat keterlaluan berbuat jahat bukan hanya tak pantas lagi memerintah, tetapi juga dipaksa turun tahta dan dibunuh, seperti yang pernah terjadi di negara Kerajaan Wajo. Di negara aristokrat, para bangsawasan yang berubah jadi bangsat dikenakan pembalasan demokratis yang setimpal. Berlaku hukum adat yang sangat ketat dan keras untuk melindudungi pendunduknya dari kejahatan para bangsawan yang tiba-tiba berubah jadi bangsat. Hukuman berat diberlakukan mulai dari sanksi sosial berupa penghinaan martabat pribadi dan keluarganya, pengusiran yang melintasi laut lepas, pengasingan permanen di pulau terluar hingga hukuman penggal leher. Sebaliknya, aristokrasi militer dan aristokrasi agama sangat disegani lantaran wataknya yang humanis dalam membela rakyatnya dan sangat keras kepada negara yang berpotensi mengancamnya.

Di bidang pertanian dan ekonomi, sejauh jangkauan akhir telunjuk sang raja, sultan, dan aristokrat adalah lahan gratis dan aman bagi para penduduk yang menaruh hidupnya di dunia agraris. Para petani yang bercocok tanam diperintahkan menyisihkan sebagian hasil pertaniannya untuk mengisi lumbungnya dan menyiapkan bibit untuk mengantispasi krisis pangan dan menjamin keberlanjutan. Pada musim tanam, terdapat negeri yang memberlakukan larangan keras mengeluarkan darah, seperti memotong hewan untuk mengindari hama datang menyerang. Di pasar-pasar rakyat bergiliran hari, para penduduk melakukan transaksi melalui sistim barter: barang ditukar dengan barang. Tak seorangpun merasa dirugikan sistem tersebut, karena selain tak ada makelar, monopoli, dan pengepul pengejar untung, juga dasarnya adalah kebutuhan berbasis kejujuran, kepantasan, dan kesukarelaan. Adapun pajak dan upeti yang diberlakukan kepada negara bawahan yang sudah tentu berdampak buruk pada penduduknya, hanyalah strategi mengontrol dan mengendalikan agar negara bawahan itu tidak tumbuh sebagai negara pemberontak. Pajak dan upeti segera diberhentikan bilamana relasi kedua negara mengalami perubahan ke arah konsensus dan kerja sama.

Di semua negara lama, cara mendapatkan kekayaan relatif sama, sehingga kekayaanpun relatif sama. Di bawah kekuasaan para raja, sultan, dan aristokrat yang arif dan bijaksana, tak dijumpai penduduk yang menggantungkan hidupnya dari tuan tanah yang menuntut kesetiaan dan loyalitas politik (feodalisme). Semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan digalakkan untuk menyelesaikan pekerjaan yang membutuhkan banyak dana dan tenaga. Para orang tua serius mendidik anak-anaknya melalui contoh agar bisa menjadi bagian dari generasi penerus dan perintis. Sangat mudah dijumpai kakek berusia lanjut menaman pohon kelapa yang buahnya hanya bisa dinikmati oleh anak-cucunya, dan masyarakat lainnya. Tak ada semangat untuk menjadikan anggota keluarganya menjadi bagian dari generasi pewaris yang disebabkan oleh kemalasan dan kemerosotan ide atau gagasan. Kerja keras dengan ‘sistim pemagangan’ sudah dibiasakan untuk membuktikan kebenaran adagium bahwa banyak anak banyak rezki. Kemalasan dan kebiasaan meminta-minta sangat dikutuk dan dihina oleh semua pendunduk negeri. Bagi orang miskin yang jumlahnya tak banyak tak perlu malu atas kemiskinan yang menimpanya, karena semua pendnduk negeri sudah memahmi bahwa kemiskinannya itu benar-benar atas kehendak Dewata Agung.

Di bidang agama dan teologi, hanya Dewata Agung satu-satunya yang dipercaya memiliki kehendak tunggal atas semua penghuni alam semesta. Dunia mikrokosmos dan dunia makrokosmos berada di bawah pengawasan dan kehendak-Nya. Di dalam penderitaan dan kesedihan yang amat merendahkan, satu-satunya tempat pelarian yang paling mendamaikan dan membahagiaan untuk doa dan keluh kesah adalah Dewata Yang Agung. Ada keyakinan yang sangat mendalam bahwa kematian bukanlah akhir dari segalanya. Setelah kematian akan ada kehidupan panjang untuk menerima karma sesuai amal perbuatannya di dunia. Hari pembalasan bagi setiap roh dan jasad buruk sangat diyakini untuk menentramkan jiwa yang teraniaya akibat perbuatan para pendosa yang tidak mendapat karma di dunia. Dalam teologi pembebasan, seseorang baru bisa dipandang manusia baik bila ia dapat memperlakukan baik Tuhannya, dirinya sendiri, diri orang lain, langit (matahari, bulan, dan bintang), bumi (tanah, air, api, dan udara) tumbuh-tumbuhan, hewan; dan para mahluk gaib.

Meluas keyakinan di semua penduduk negeri bahwa bumi dan langit adalah satu kesatuan sumber kehidupan dan kesuburan. Hutan keramat sengaja dipelihara kekeramatannya agar penduduk berhati-hati memperlakukannya dan tidak semena-mena merusaknya. Tujuannya sangat visioner, yakni untuk mencegah bencana alam yang membawa kepada kemalangan nasib. Juga ada kepercayaan mengenai tindakan dan hari-hari yang membawa keberuntungan. Diingatkan agar di hari Selasa tidak ada yang memulai usahanya yang berjangka panjang dalam mendatangkan rezki, dan pada saat kapanpun terutama Kamis malam dilarang bersandar di daun pintu rumah. Di malam Jumat karena seluruh penghuni rumah berkumpul, dianjurkan menyalakan api di bawah tangga bagi rumpah panggung atau tidak jauh dari pintu rumah bagi rumah lantai tanah. Tujuannya, untuk mencegah agar mahluk lain tidak masuk ke dalam rumah menyerang penghuninya.

Semua kehidupan yang sudah tertata itu menjadi bagian tak terpisahkan dalam upaya mewujudkan cita-cita dan tujuan Republik Nusantara. Integrasi kosmologi politik Raja sebagai Titisan Tuhan, Sultan sebagai Wakil Tuhan, Aristokrat sebagai Pelayan Tuhan, dan Otoritas Sipil sebagai Suara Tuhan diramu ke dalam dasar negara Pancasila, konstitusi negara UUD1945, dan semboyang persatuan Bhinneka Tunggal Ika, untuk memberi optimisme politik kepada Kaum Republik untuk senantiasa selalu mencintai negerinya sekaligus menjauhi keputusasaan yang pernah menimpanya pada periode panjang penjajahan yang dipenuhi ragam penindasan.

Bersambung …

BACA JUGA:

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K