Geneologi Politik Dan Kosmologi Politik Indonesia (Bagian 5)

Geneologi Politik Dan Kosmologi Politik Indonesia (Bagian 5)
Dr. Mulyadi (Opu Andi Tadampali), Dosen Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia

Oleh: Mulyadi (Opu Andi Tadampali)
Dosen Ilmu Politik Universitas Indonesia

 

IV. Periode Paternal

Tahun 1945, Jepang negeri para samurai diselimuti mimpi buruk setelah bom atom Sekutu meratakan dua kota besarnya. Sebaliknya, pada tahun yang sama, kaum Republik diselimuti mimpi indah setelah bangsa dan negara barunya diumumkan berdirinya. Namun mimpi indah tentang kemerdekaan ternyata tidak seperti yang ada di alam nyata, karena pada tahun sama pasukan Inggris dari Brigade MacDonald datang untuk membantu Belanda menduduki kembali wilayah jajahannya yang sempat ditinggalkan selama tiga tahun lebih. Puncaknya, selama kurun waktu pergolakan bersenjata (1947-1949), kaum Republik berada di medan tempur. Namun dengan semangat juang yang pantang menyerah, kaum Republik dapat membuktikan keandalan strategi perang gerilya dari konsepsi ‘Dwi Fungsi Militer’ yang dicetuskan Jenderal Abdul Haris Nasution, melampaui keandalan konsepsi ‘Tri Tunggal Menakjubkan’ yang dicetuskan Jenderal Prusia Carl Phillip Gottfried von Clausewitz. Selain itu, di pentas diplomasi, kaum Republik juga terus berjuang untuk menunjukan kemampuan strategi komunikasi politiknya.

Dari aspek perjuangan militer, dengan formasi prajurit pejuang dan pejuang prajurit yang berlatar kombinasi hasil didikan militer Belanda (KNIL), hasil didikan militer Jepang (PETA-Heiho), dan hasil didikan militer bangsa-bangsa dan negara-negara lama (Barisan Rakyat Bersenjata), kaum Republik dapat memperlihatkan keuletan dan ketangguhannya. Lalu dari aspek perjuangan diplomasi, dengan formasi para negarawan nasionalis-religius, kaum Republik dapat menunjukkan keandalan dalam meyakinkan negara lain. Di dalam negeri, perjuangan kaum Republik ditopang oleh semangat pembebasan bangsa-bangsa lama dan negara-negara lama. Dari luar negeri, berdasarkan Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933 yang mensyaratkan negara baru harus memperoleh pengakuan dari negara lain, perjuangan kaum Republik didukung oleh bangsa dan negara-negara di Timur Tengah: Mesir (1946), Palestina (1946), Arab Saudi (1946), Lebanon (1947), dan Suriah (1947). Kedua aspek perjuangan inilah yang mengantarkan Republik ke meja perundingan hingga memperoleh kedaulatannya pada tahun 1949.

Pada bagian kelima artikel ini, saya memajangkan sekilas potret buram dari dua rezim lama yang kerap dihujat oleh kaum Republik, Orde Lama (1945-1968) dan Orde Baru (1968-1998). Potret gelapnya saya tampilkan dari hasil “lensa paternalisme (paternalism)” yang diregistrasi Roger Scuton (2017) dalam Kamus Politik yang bermakna ganda: sebagai cacian dan sebagai pujian. Pada makna negatifnya, paternalisme sebagai cacian mencakup: (1) prinsip dan praktik administrasi paternal; dan (2) sikap —politik penguasa, pemerintah, atau rezim politik— yang memandang masyarakat tidak berdaya dan sangat kekanak-kanakan, sehingga membutuhkan adanya otoritas dan pemerintahan yang dapat mengatur mereka. Sebaliknya, sebagai pujian, makna paternalisme mencakup: (1) pemerintahan layaknya seorang Ayah —dalam keluarga; (2) klaim atas usaha untuk memenuhi kebutuhan rakyat atau mengatur kehidupan negara dengan cara yang sama seperti seorang ayah mengatur anak-anaknya. Istilah paternalisme sebagai suatu pujian, merujuk pada pernyataan Pangeran Buckingham I bahwa ‘seorang raja adalah ayah bagi warga negaranya’. Ini tentu bukanlah pujian yang mengada-ada bila suatu pemerintahan memang benar-benar terikat oleh suatu tanggung jawab politik yang sama persis dengan doktrin tanggung jawab orang tua kepada anak-anaknya.

Akan tetapi paternal bukanlah semata-mata soal tanggung jawab humanistik. Paternal juga mendeskripsikan suatu relasi politik yang melibatkan kekuasaan beserta komponen-komponen paternalnya yang terkadang sangat ambisius, seperti kepatuhan dan loyalitas politik tanpa reserve. Untuk itu, agar tidak terjerumus ke dalam pemerintahan despotis, ‘pemerintahan paternal’ menuntut suatu kombinasi seimbang antara kekuasaan dan tanggung jawab politik. Tanpa keseimbangan ini, niscaya paternal yang semakin paternalistik segera berubah menjadi paternalisme, yang salah satu hasilnya paling dibenci adalah despotisme. Dengan lain perkataan bahwa despotisme tak terhindarkan manakala kekuasaan lebih dominan daripada tanggung jawab politik, seperti yang dipraktikkan oleh dua rezim lama berikut.

Pada rezim lama, ‘pemerintahan paternal’ Orde lama dan Orde Baru —yang mungkin saja diklaim berisi kebaikan hati, ternyata direspon negatif oleh kaum Republik berupa konsolidasi perlawanan dan pengorganisasian kebencian sebagaimana terbukti di kemudian hari dimana Soekarno dan Soeharto di akhir rezimnya diperlakukan sangat terhina, menjadi ‘Tahanan Rumah’. Itu terjadi karena kaum Republik mengidentikkan ‘pemerintahan paternal’ kedua rezim lama ini dengan despotisme sekaligus pemompa romantisme feodalisme. Dalam praktiknya, kaum Republik tidak melihat bahwa ide Soekarno dan Soeharto tentang “pemerintahan paternal” adalah suatu tatanan ramah yang harmonis sebagaimana dalam benak kaum romantisme Republik dimana negara bangun di atas pondasi semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan, serta pembebasan dari ketertindasan.

Di bawah ‘pemerintahan paternal’, rezim Orde Lama memodifikasi kekuasaannya sedemikian rupa untuk menjadi kekuasaan seumur hidup, sehingga dalam waktu yang relatif lama telah menyebabkan cita-cita bangsa lama dan negara-negara lama yang mengalir dalam urat nadi kaum Republik terhenti tanpa kepastian. Sentralisasi dan konsentrasi kekuasaan model jaring laba-laba membuat rezim lama menumpuk kekuasaannya di tangan Soekarno. Atribut Paduka Yang Mulia, Presiden Seumur hidup, Pemimpin Besar Revolusi, dan Panglima Tertinggi Angkatan Perang tidak hanya membuat kekuasaan Soekarno dapat memenjarakan para menentangnya tanpa proses pengadilan, tetapi juga mengguncang kaum Republik di seantero wilayah. Hanya butuh waktu sesaat, ketidakpuasan para elit pejuang berubah menjadi ‘pemberontakan kaum Republik’ yang dikemas ke dalam gerakan politik bersenjata yang berisi semangat primordialisme politik: suku, agama, ideologi, dan lokalisme. Dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi, ‘pemberontakan kaum Republik’ tanpa ragu menyerang jantung ‘pemerintahan paternal’ Soekarno.

Dari Jawa Barat, pusat bara api gerakan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII) dinyalakan dan ditiup kencang oleh Imam Soekarmadji Maridjan Kartosoewirjo ke sumbu-sumbu perlawanan selama tahun 13 tahun (1949-1962). Di Aceh, perlawanan DI/TII muncul setelah disulut oleh kemarahan kaum Republik yang timbul dari parasaan penghianatan ‘pemerintahan paternal’ Soekarno terhadap janji keistimewaan Aceh sebagai “Serambi Mekkah”. Di Aceh, perang DI/TII yang berlansung selama puluhan tahun (1953-1965) dikomandoi langsung oleh Jenderal Mayor (Tituler) Teungku Muhammad Daud Beureueh, seorang ulama kharismatik, mantan “Gubernur Militer Daerah Istimewa Aceh” yang berkuasa penuh atas pertahanan daerah Aceh, dan mantan Komandan Divisi X Komandemen Sumatera. Di Sulawesi, api perlawanan DI/TII bahkan menyala selama 15 tahun (1950-1965) di bawah komando Kolonel Abdul Qahhar Muzakkar, ‘murid setia Jenderal Soedirman yang juga mantan “cakrabirawa handal” Soekarno di Lapangan Ikada Jakarta. Di Kalimantan tepatnya di Kalimantan Selatan, api panas perlawanan DI/TII menjalar lewat tiupan isu ekspansi dan penaklukan politik Jawa, Jawanisasi. Perlawanan DI/TII di Kalimantan selama puluhan tahun (1950-1963) yang dikemas ke dalam barisan heroik ‘Kesatuan Rakyat Tertindas’ dikomandoi Ibnu Hajar, mantan Panglima Angkatan Perang Tentara Islam (APTI) untuk wilayah Kalimantan.

Di tengah semua parlawanan yang belum redah itu, muncul lagi dua titik perlawanan baru yang serupa tapi tidak sama, di Indonesia bagian Barat tepatnya di Sumatera Tengah dan Indonesia bagian Timur tepatnya di Sulawesi Selatan. Meskipun tidak sepanas api pemberontakan DI/TII, dua gerakan ini juga tegas menentang ‘pemerintahan paternal’ Soekarno. Di Sumatera, gerakan ini muncul dengan nama Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada 15 Februari 1958 yang dikomandoi para elit sipil dan militer, seperti Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo, Sjafruddin Prawiranegara, Assaat Dt. Mudo, Ahmad Husein, Maluddin Simbolon, Saladin Sarumpaet, Dahlan Djambek, dan lain-lain. Pemberontakan ini mengejutkan pemerintah paternal Jakarta setelah Dewan Banteng yang komandoi Letkol Ahmad Husein merebut kekuasaan Pemerintah Daerah dari tangan Gubernur Ruslan Muljohardjo yang dinilai gagal melaksanakan pembangunan daerah. Di Sulawesi Selatan, gerakan serupa dideklarasikan dengan nama ‘Perdjuangan Rakjat Semesta (Permesta)’ di kediaman Gubernur Sulawesi Selatan pada 2 Maret 1957 yang daerah operasinya meliputi Sulawesi, Nusa Tenggara, Bali, Maluku, dan Irian Barat. Gerakan yang dideklarasikan oleh “Dwi Tunggal Permesta” ini: Herman Nicolas Ventje Sumual dan Saleh Lahade berakhir dengan gencatan senjata pada tahun 1961. Sumual adalah mantan Kepala Staf Tentara & Territorium VII/Wirabuana Indonesia Timur (Nusatenggara, Sulawesi, Maluku & Irian Barat) dan mantan Panglima TT VII/Wirabuana-Indonesia Timur. Sedang Lahade mantan Kepala Staf Komando Pengamanan Sulawesi Selatan Tenggara (Ko-DPSST).

Bergeser ke ‘pemerintahan paternal’ Orde Baru. Berbekal dukungan penuh seluruh kekuatan politik anti-Komunis pasca Gerakan 30 September 1965, Soeharto dengan mudah mengambilalih kekuasaan dari tangan Soekarno pada tahun 1968. Akan tetapi kekuatan itu tidak segera digunakan sebagai instrumen untuk memenuhi tuntutan kaum Republik di era rezim Orde Lama. Sebaliknya, kekuatan itu justru dimodifikasi sedemikian rupa untuk menjadi “penguasa sepanjang masa”. Menghindari pengalaman Soekarno yang dikelilingi oleh ketidakpuasan militer, Soeharto berusaha melumpuhkan kekuatan militer dengan memulainya tetap mempertahankan kebijakan Soekarno yang menggabungkan polisi dan militer ke dalam institusi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pada tahun 1962, sambil melibatkannya dalam ‘pemerintahan paternalnya’. Melalui cara ini, Soeharto dapat memagari dirinya dengan para perwira ABRI (militer dan polisi) yang terseleksi ketat. Pada tahap ini, Soeharto melaksanakan program ‘Kekaryaan ABRI’, yakni para perwira militer yang loyal dimasukkan ke tubuh birokrasi pemerintahan. Agar dapat melibatkan sebanyak dan seluas mungkin, struktur ‘Kekaryaan ABRI’ dibuat ke dalam dua jenis dan dua tingkat. Baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah terdapat jenis ‘kekaryaan organik’ untuk para perwira aktif, dan jenis ‘kekaryaan non-organik’ untuk para perwira non-aktif (pensiun). Di tingkat Pusat, terdapat struktur “Kekaryaan Pusat” yang membagi habis seluruh kementerian/lembaga, yang pimpin oleh seorang perwira berpangkat Mayor Jenderal dengan sebutan ‘Perwira Koordinator Kekaryaan Pusat’ (Pakokarpus). Di tingkat Daerah, terdapat struktur ‘Kekaryaan Daerah’ yang membagi habis unsur Pemerintah Daerah, yang pimpin oleh seorang perwira berpangkat Brigadir Jenderal dengan sebutan ‘Perwira Koordinator Kekaryaan Daerah’ (Pakokarda). Pada tahap pertama ini, Soeharto tidak hanya berhasil memegang kendali atas ABRI dan Birokrasi, tetapi juga dapat membebaskan dirinya dari potensi perlawanan/kudeta militer, dengan cara bersandar pada kekuatan “perwira militer loyal yang terlembagakan”. Dengan demikian, setengah dari konstruksi sistem dan struktur otoritarianisme sudah selesai.

Selanjutnya tahap kedua, melumpuhkan partai sambil menyediakan alternatifnya. Pada tahap ini, Soeharto memulainya dengan melaksankan program pembusukan politik (political decay) terhadap partai dan politisi partai melalui pembelahan politik dengan cara mengkontradiksikan partai ke dalam partai Islamis dan partai Nasionalis. Melalui program penyatuan paksa partai (fusi) tahun 1973, Soeharto berhasil mengkontradiksikan sekaligus “memenjarakan partai” ke dalam dua “sangkar demokrasi”: sangkar Islamis dan sangkar Nasionalis. Di bawah program fusi, semua partai yang berwajah Islamis dipaksa bergabung ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP), lalu semua partai yang berwajah Nasionalis dipaksa bergabung ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Dengan model fusi yang demikian ini, maka tujuan dari strategi political decay berupa citra buruk partai dan politisi partai menemukan jalan pastinya. Hasil mutlaknya adalah pembelahan politik berupa kesan ‘politisi religius yang tidak nasionalis’ yang berkumpul di PPP berhadapan dengan ‘politisi nasionalis yang tidak religius’ yang berkumpul di PDI. Implikasi politik dari pembelahan politik ini adalah degradasi moral politik para politisi tokoh Islam akibat psikologi politik yang seolah-olah menganggapnya religius tapi tidak nasionalis. Sementara politisi yang tidak ingin disebut oposisi atau enggan di sabut salah satunya, Soeharto telah menyediakan ‘Golongan Karya’ yang berfungsi sebagai “partai tunggal” bagi rezimnya. Pada tahap kedua ini, Soeharto berhasil membebaskan dirinya dari potensi perlawanan partai-partai politik dengan cara bersandar pada kekuatan Golkar sebagai “Partai Tunggal”.

Setelah berhasil memegang kontrol dan kendali atas jalur ABG (ABRI, Birokrasi, dan Golkar), Soeharto tinggal menyelesaikannya dengan mendesain kekuasaan ‘pemerintahan paternal’nya yang dapat melambungkan namanya pada portofolio “Bapak Pembangunan Nasional”. Pada tahap terakhir ini, Soeharto harus menyingkirkan para penentang pengkritiknya yang potensial berasal dari kaum muda terpelajar. Berpegang pada dalil umum bahwa tak akan pernah ada tuntutan perubahan bagi kaum tak terpelajar (orang-orang bodoh), Soeharto tidak ingin keduanya. Agar kaum muda tetap terpelajar namun tidak menjadi penentang pengkritik potensial, maka anak-anak mudah yang pintar “diasingkan” ke luar negeri melalui program beasiswa. Sisanya yang masih ada di dalam negeri, mereka dikumpulkan di Kementerian Pemuda dan Olah Raga melalui program penggalangan. Dengan selesainya tahap ini, Soeharto telah menyelesaikan konstruksi ‘pemerintahan paternalnya’ dengan desain kekuasaan otoriter dan mengisinya dengan pembangunan model teknokratik yang memungkinkan citra politiknya tampil sebagai “bapak pembangunan nasional”. Akan tetapi seperti dalil tentang kekuasaan buruk (power over) yang memiliki masa akhir yang buruk, Soeharto akhirnya jatuh dengan sangat menyedihkan lewat Gerakan Reformasi Mei 1998.

Kaum Republik yang tidak puas, tidak melihat ‘pemerintahan paternal’ Soekarno dan Soeharto sebagai pusat pemerintahan yang dapat pemberi bantuan di seluruh wilayah negara. Sebaliknya, dengan kekuasaan yang sangat sentralistik dan terkonsentrasi, ‘pemerintahan paternal’ Soekarno dan Soeharto justru membuat daerah merasa kehilangan kemerdekaan seperti yang dirasakannya di era kolonialisme, imperialisme, dan pendudukan. Membayangkan kekuasaan Daerah yang pernah dirasakannya di era negara-negara Kerajaan dan Kesultanan Nusantara, kaum Republik ingin pemerintah Jakarta memberlakukan semangat hukum seperti di Prusia tahun 1795 dimana para “bangsawan selain harus memberikan pendidikan kepada petani miskin, juga sejauh mungkin menyediakan cara-cara mencari nafkah dan membantu rakyat yang hidup dalam kemiskinan”. Akan tetap di era ‘pemerintahan paternal’ Soekarno dan Soeharto hukum semacam itu tak dirasakan lagi oleh kaum Republik setelah kekuasaannya digerogoti oleh doktrin politik ‘negara kesatuan’ yang menganggap aspirasi politik Daerah sebagai bentuk perlawanan politik. Padahal di dalam benak kaum Republik, doktrin politik ‘negara persatuan’ justru berisi kerelaan Pemerintah Pusat dalam politik desentaralisasi yang mencakup local politisc, local government, dan local administrative.

Bersambung

BACA JUGA:

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K