Ummat Islam Makin Terpuruk Secara Politik

Ummat Islam Makin Terpuruk Secara Politik
Daniel Mohammad Rosyid

Oleh: Daniel Mohammad Rosyid @MPUII

Saat Zohran Mamdani terpilih menjadi Walikota New York, dan Shadiq Khan terpilih sebagai Walikota London, ummat Islam Indonesia masih belum melihat Walikota impian mereka memimpin kota-kota besar Indonesia (Jakarta, Bandung, Jogya, Surabaya) dengan agenda Islam yang menonjol. Anies Baswedan sempat memberi harapan saat terpilih sebagai Gubernur DKI. Namun untuk menjadi presiden, mungkin Anies harus bergeser ke tengah, tidak bisa terlalu islamis. Ummat Islam Indonesia bukan mayoritas. Yang mayoritas adalah kaum abangan, baik Islam atau kristen.

Sejak penangkapan licik de Kock atas P. Diponegoro 1830 di Magelang, lalu juga Cut Nyak Din 1906, pemerintahan kolonial Hindia Belanda berusaha keras untuk memastikan tidak ada Islam politik lagi. Namun pemerintah kolonial dikejutkan oleh HOS Tjokroaminoto yang membawa Sarikat Islam menjadi partai politik yang sangat berpengaruh. Bahkan Tjokroaminoto berani menuntut zelfbestuur atau pemerintahan sendiri di bawah persemakmuran Kerajaan Belanda dalam pidatonya di Bandung pada 1916, delapan tahun setelah perempuan hebat Aceh itu wafat di pengasingan di Sumedang.

Gerakan kebangsaan merintis kemerdekaan Tjokroaminoto itu diteruskan oleh Hatta dalam pembelaannya berjudul “Indonesia Vrij” di pengadilan Belanda pada Maret 1928. Kemudian kita menyaksikan Kongres Pemuda 1928 yang melahirkan Soempah Pemoeda. Lalu Bung Karno membacakan “Indonesia Menggugat” pada 1930 di depan pengadilan Hindia-Belanda di Bandung

Baru 15 tahun kemudian sejarah mencatat Proklamasi Kemerdekaan oleh Soekarno-Hatta. Sehari kemudian, UUD NKRI ditetapkan pada 18/8/1945 yang dirumuskan oleh para ulama dan cendekiawan of the best minds pendiri bangsa sebagai deklarasi perang melawan segala bentuk penjajahan sekaligus strategi memenangkan perang tersebut. Menyadari perjuangan politik untuk mempertahankan kemerdekaan penting, ummat Islam membentuk Masyumi sebagai partai politik pada November 1945.

Belanda tidak pernah rela melepas Hindia Belanda yang kaya raya ini sehingga segera melakukan invasi kembali dengan membonceng NICA kembali menjajah. NICA harus menghadapi santri yang berjihad dalam Perang Surabaya menjelang akhir Oktober 1945. Bahkan Brigjen Mallaby Komandan Brigade Infanteri India ke-49 tewas di tangan arek-arek Suroboyo dalam Perang Surabaya itu. Sejarah mencatat bahwa TNI saat ini benihnya dari lasykar Sabilillah dan Hizbullah yang berbasis pesantren, namun terbukti kemudian TNI pun, termasuk POLRI, mengalami sekulerisasi. Islam diposisikan sebagai bahaya latent nyaris seperti PKI.

Sejarah kemudian mencatat bahwa upaya depolitisasi atas ummat Islam itu terus terjadi seiring dengan proyek sekulerisasi atas Republik Indonesia. Akibatnya, secara perlahan tapi pasti, selera politik ummat Islam Indonesia makin menurun. Soeharto sengaja membesarkan Muhammadiyah untuk secara halus terus menurunkan selera dan peran politik ummat Islam. Segera setelah reformasi, NU juga sengaja dibiarkan membesar, justru untuk memperlemah PPP dan kemudian PKB, sekaligus mengimbangi Muhammadiyah. Di dalan situasi Pareto frontier di mana sumberdaya terbatas ummat Islam harus memilih politik atau ekonomi. Ummat Islam memilih ormas untuk memperbaiki sosial-ekonomi mereka. Jalan politik melalui partai politik dinilai kotor, seperti yang diharapkan oleh musuh-musuh ummat Islam sendiri.

Fakta bahwa selera dan peran politik ummat Islam justru menurun drastis setelah kemerdekaan merupakan isu yang menarik dikaji. Di samping upaya pemerintah kolonial dan proyek depolitisasi ummat Islam, secara pemikiran mazhab mathuridhiyah yang berselera politik tinggi digeser oleh mazhab Asy’ariyah dengan selera politik aras-arasen. Padahal kedua mazhab itu tergolong ahlus sunnah wal jama’ah. Penting dicermati bahwa adalah Sunan Kudus -wali yang mathuridhiyah- bertanggungjawab atas pendirian Kesultanan Demak Islam setelah Majapahit surut.

Perkembangan pemikiran Asy’ariyah pasca-Orde Baru penting dicermati. Memang pesantren-pesantren NU cukup banyak mengkaji keutamaan politik, namun terbukti kajian-kajian itu ditafsirkan 1) secara kiri seperti yang dilakukan Tjokroaminoto yang menulis Sosialisme Islam, atau 2) secara kanan liberal yang justru a-politis. Agenda politik Islam kemudian diusung terbuka oleh ormas baru HTI yang secara tidak resmi merupakan musuh besar NU dan Muhammadiyah yang makin nyaman dengan keormasannya.

Kini kita menyaksikan sejak ummat Islam menarik diri dari jagad politik nasional, terutama sejak UUD 18/8/1945 diganti menjadi UUD 10/8/2002 oleh kaum sekuler kiri dan liberal radikal, kehidupan berbangsa dan bernegara makin menjauh dari amanat para pendiri bangsa. Duitokrasi merajalela di mana duit menjadi oksigen di jagad politik yang dipenuhi para bandit, badut dan bandar politik yang ngglembuk, nggendham dan nyopet kedaulatan rakyat. UUD 10/8/2002 memberi monopoli politik secara radikal pada partai-partai politik. MPUII dilahirkan untuk menyudahi political madness berjamaah ini dengan memasukkan kembali nilai-nilai Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Surabaya. Sabtu 15/11/2025

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K