Transformasi Kebudayaan: Wujud Kecerdasan Estetika Membangun Surabaya yang Beradab

Transformasi Kebudayaan: Wujud Kecerdasan Estetika Membangun Surabaya yang Beradab
Isa Ansori

Oleh: M. Isa Ansori

Surabaya berada pada titik krusial dalam perjalanan kebudayaannya. Kota ini tumbuh pesat menjadi pusat ekonomi, layanan publik, pendidikan, dan mobilitas nasional. Namun di balik derap modernisasi tersebut, Surabaya juga memikul residu sosial lama—ego sektoral, konflik identitas, gesekan antar-kelompok, dan kepentingan yang sering kali mendahulukan kemenangan kelompok daripada kemaslahatan kota. Di tengah kontradiksi itu, transformasi kebudayaan menjadi kebutuhan strategis. Ia bukan keindahan simbolik, melainkan strategi etis membangun kota beradab. Di sinilah kecerdasan estetika menjadi paradigma yang relevan: kemampuan melihat, merasakan, dan menata harmoni sosial sebagai bagian integral dari pembangunan.

Data menunjukkan urgensi itu. Pada dokumen RPJMD Kota Surabaya 2025, grafik “Jumlah Potensi Konflik 2020–2024” memperlihatkan bahwa gangguan sosial-politik tidak pernah lenyap sepenuhnya. Tahun 2022 tercatat penuh fluktuasi, dan angka 2023–2024 menunjukkan peningkatan kewaspadaan. Dataset resmi Bakesbangpol bertajuk “Potensi Konflik IPOLEKSOSBUD yang Ditangani”, yang dirilis melalui Satu Data Surabaya, juga memperlihatkan pola serupa. Meski data masih dalam proses kurasi, kecenderungannya jelas: setiap tahun terdapat serangkaian potensi konflik yang memerlukan respons cepat, dari gesekan antarkampung, perselisihan organisasi, hingga ketegangan berbasis identitas.

Situasi ini bukannya memburuk, tetapi menunjukkan bahwa Surabaya adalah kota besar dengan dinamika sosial tinggi. Ironisnya, beberapa kelompok di tengah masyarakat masih terjebak dalam mentalitas “kita vs mereka”—bangga pada kelompoknya sendiri, tetapi kurang empati pada kelompok lain. Sikap seperti ini memunculkan ruang bagi intoleransi sosial. Pemberitaan 2025 bahkan mencatat bahwa beberapa kawasan di Surabaya Barat masih dikategorikan rawan konflik sosial berbasis perbedaan keyakinan dan preferensi kelompok. Inilah tantangan kebudayaan kita hari ini: bukan sekadar konflik fisik, melainkan pengaburan rasa dan empati.

Namun Surabaya memiliki modal sosial kuat. Pada 2025, Pemerintah Kota bersama Bakesbangpol, Forum Pembauran Kebangsaan (FPK), dan elemen lintas iman menginisiasi Deklarasi “Surabaya Rumah Kita Bersama”. Kegiatan lintas iman, dialog kerukunan, serta penguatan jaringan FKUB menjadi langkah konkret pemerintah merawat kohesi sosial. Pemerintah tidak hanya mengambil posisi sebagai regulator, tetapi tampil sebagai koreografer harmoni—mengatur ritme kebijakan, forum dialog, dan aktivitas publik agar ketegangan sosial tidak membesar. Dalam konteks ini, data bukan hanya angka, tetapi instrumen membaca denyut sosial kota.

Peran Pemerintah Kota menjadi signifikan. Ia memastikan bahwa pembangunan fisik harus berjalan beriring dengan pembangunan nilai. Pembangunan ruang publik, taman kota, kampung tematik, hingga pusat-pusat ekspresi budaya menjadi bagian dari upaya menciptakan ruang sosial yang ramah. Pemerintah menyadari bahwa kota yang padat menuntut ruang yang memberi jeda emosional dan memperhalus kehidupan warganya. Maka, kebijakan kebudayaan tidak dapat dipisahkan dari strategi pembangunan kota. Infrastruktur tanpa budaya hanya melahirkan kota yang keras; budaya tanpa infrastruktur hanya menjadi estetika yang menggantung.

Pada lapis lain, para seniman dan pegiat kebudayaan memainkan peran sebagai penjaga api kesadaran kolektif. Seniman memperlihatkan kegelisahan dan harapan kota melalui teater, puisi, mural, musik, dan seni media yang menyentuh pengalaman warga. Mereka tidak hanya berkarya, tetapi juga menghidupkan memori dan imajinasi kota. Pegiat kebudayaan, akademisi, dan komunitas-komunitas kampung menjadi penghubung antara nilai, ruang publik, dan realitas sosial. Mereka memastikan bahwa transformasi kebudayaan tidak berjalan dari atas ke bawah, tetapi tumbuh dari bawah ke atas.

Di ruang kampung, yang selama puluhan tahun menjadi benteng gotong royong, nilai kebersamaan tetap terjaga. Masyarakat kampung menunjukkan bahwa identitas kolektif bisa menjadi sumber solidaritas, bukan sumber perpecahan. Sementara masyarakat kota, dengan latar belakang sosial beragam, berperan menjaga ruang publik tetap hidup melalui interaksi yang menghargai perbedaan. Ketika kampung dan kota saling belajar, Surabaya menemukan kembali jati dirinya sebagai kota yang kuat karena solidaritas, bukan karena homogenitas.

Dalam konteks dinamika ini, kecerdasan estetika menjadi kunci membangun kota beradab. Kecerdasan estetika bukan sekadar kemampuan mencipta karya indah, melainkan kemampuan membaca suasana, menimbang rasa, memilih ekspresi yang menyejukkan, dan menata relasi sosial secara etis. Kota yang beradab adalah kota yang melihat warga lain sebagai mitra hidup, bukan kompetitor eksistensial. Romo Mangunwijaya pernah menulis, “Peradaban lahir ketika manusia memutuskan untuk memperlakukan orang lain sebagai sesamanya.” Kutipan ini adalah pedoman moral bagi Surabaya: keindahan kota harus lahir dari keindahan perilaku warganya.

Dalam perkembangan terakhir, Dewan Kebudayaan Surabaya berpotensi menjadi simpul transformasi ini. Ia dapat mengambil peran sebagai penafsir arah kebudayaan kota, penghubung antara komunitas, akademisi, dan pemerintah, serta penjaga nilai agar pembangunan berjalan seirama dengan keadaban. Dewan Kebudayaan tidak boleh hanya menjadi simbol, tetapi harus menjadi laboratorium etika publik—tempat gagasan, seni, kritik, dan empati bekerja bersama membangun Surabaya yang lembut dan kuat sekaligus.

Data konflik yang masih muncul setiap tahun bukan alasan untuk pesimis. Justru di sanalah ruang kerja kebudayaan terbuka. Transformasi kebudayaan adalah proses panjang yang menuntut konsistensi, partisipasi warga, kepemimpinan yang peka, dan kelembagaan budaya yang kuat. Surabaya sedang berada di jalur itu—bergerak dari kota yang fungsional menuju kota yang beradab, tempat kecerdasan estetika menjadi fondasi harmoni.

Surabaya akan menjadi kota besar yang matang bukan ketika gedungnya menjulang, tetapi ketika warganya saling memahami. Bukan ketika infrastrukturnya sempurna, tetapi ketika budinya halus. Dan bukan hanya ketika ekonominya kuat, tetapi ketika rasa sosialnya tumbuh. Inilah makna transformasi kebudayaan: menjadikan estetika bukan sekadar hiasan, melainkan jalan etis membangun Surabaya sebagai rumah bersama.

Surabaya, 28 November 2025

Tentang Penulis :

M. Isa Ansori adalah Kolumnis dan Akademisi, Fokus di psikologi komunikasi dan transaksional analisis, Saat ini menjadi Wakil Ketua Tim Transformasi Kebudayaan Kota Surabaya dan Pengurus Forum Pembauran Kebangsaan ( FPK ) Kota Surabaya, Dewan Pakar LHKP PD Muhammadiyah Surabaya dan Wakil Ketua ICMI Jatim

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K