Hak Presiden Atau Cawe-Cawe?

Hak Presiden Atau Cawe-Cawe?
Radhar Tribaskoro, Anggota Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia

Oleh: Radhar Tribaskoro

 

Selalu ada saat ketika sebuah negara—yang kita sebut dengan nama sederhana: Republik—terpaksa menoleh ke wajah presidennya. Ia adalah pusat gravitasi kekuasaan, kepadanya semua benang ditarik, kepadanya segala tuntutan moral diarahkan. Tetapi barangkali di antara kewenangan- kewenangan yang paling berbahaya, ada satu yang sering dirayakan sekaligus ditakuti: cawe-cawe, tangan yang turun ke sawah masalah, menyentuh tanah basah politik, dan mengubah arah bajak yang sebenarnya bukan miliknya.

Kita mengenarnya dalam dua rupa. Satu yang terang-benderang, tercatat dalam konstitusi: amnesti, abolisi, grasi, rehabilitasi — kewenangan luar biasa yang diamanatkan kepada seorang presiden. Dan satu lagi, yang samar, yang tidak pernah tercatat di lembar negara mana pun: telepon gelap, pesan setengah malam, titipan keluarga, bisik-bisik promosi, lirikan yang membuat meja-meja kekuasaan bergetar. Di antara keduanya, batasnya tipis, nyaris selalu dilanggar, sering kali oleh orang yang sama.

Ada orang-orang yang menganggap setiap intervensi presiden adalah dosa. Tetapi sejarah memberi kita dua kisah yang berbeda. Di satu sisi, Tom Lembong—liberal, vokal, pendukung Anies—yang diciduk, diadili dengan alasan yang bahkan para ahli hukum enggan mengucapkannya. Ia bukan musuh negara; ia hanya menjadi saksi dari sebuah masa ketika seorang presiden terlalu lama duduk terlalu nyaman di singgasananya. Dan ketika Prabowo, presiden baru itu, mengulurkan abolisi, publik melihat sesuatu yang jernih: bukan balas budi, bukan perhitungan politik, tetapi semacam penegakan akal sehat. Negara, seolah diberi kesempatan kedua, memulihkan dirinya melalui tindakan yang sah di mata konstitusi sekaligus adil di mata nurani.

Di sisi lain, ada Ira Puspadewi—seorang profesional, hidup sederhana, jauh dari gelanggang politik. Ditahan karena membeli perusahaan yang kemudian terbukti menguntungkan negara. Ia tidak pernah mencuri; ia hanya bekerja di sebuah republik yang lupa membedakan kesalahan administratif, risiko bisnis, dan kejahatan. Rehabilitasinya bukan hadiah; itu sekadar menghapus debu dari nama yang dicemarkan negara sendiri.

Namun kisah mereka, betapapun melegakan, menyisakan pertanyaan yang lebih besar: apakah tindakan presiden yang benar secara moral selalu benar secara sistemik?

Niklas Luhmann, yang lama menatap sistem sosial seperti mekanik menatap jam tua, memberi kita jawaban yang tidak nyaman. Bagi Luhmann, negara modern hanya bisa bertahan jika hukum, politik, ekonomi, media—semuanya berjalan dengan otonomi masing-masing. Setiap sistem punya bahasa, punya logika, punya cara menilai benar dan salah. Bila satu sistem masuk ke dalam yang lain, bukan hanya keputusan yang rusak, melainkan logika seluruh negara menjadi bengkok.

Ia menyebutnya structural corruption: bukan karena niat jahat, bukan karena amplop, melainkan karena struktur negara membiarkan satu subsistem menguasai yang lainnya. Politik mengambil alih hukum, ekonomi mengambil alih politik, media merantai publik. Kerusakan itu tidak selalu terlihat; kadang ia tampak seperti kebaikan, seperti koreksi, seperti tindakan belas kasih. Tetapi tetap saja, itu adalah pelanggaran batas.

Dalam kerangka itu, abolisi untuk Tom dan rehabilitasi untuk Ira bukan masalahnya. Masalahnya adalah: mengapa negara memerlukan presiden untuk memperbaiki kesalahan yang seharusnya dibetulkan oleh hukum sendiri? Mengapa pintu terakhir keadilan bukan mahkamah, tetapi ruang kerja presiden?

Kita sering lupa bahwa tindakan yang benar bisa lahir dari mekanisme yang salah. Dan negara tidak tumbuh dari niat baik individu, tetapi dari disiplin sistemik yang menjaga agar kekuasaan tidak menyentuh ruang yang bukan miliknya. Setiap cawe-cawe, betapapun murni, menegaskan satu hal: bahwa hukum tidak cukup kuat untuk mengatur dirinya sendiri.

Namun Prabowo, dalam dua tindakan simbolik—abolisi bagi Tom dan rehabilitasi bagi Ira—menunjukkan sesuatu yang berbeda dari pendahulunya: ia tidak berhenti pada penyelesaian kasus. Ia tidak berhenti pada “menyelamatkan individu”. Karena di balik dua keputusan itu, ia melakukan sesuatu yang jauh lebih penting bagi kesehatan Republik: ia membentuk Komite Percepatan Reformasi Kepolisian.

Itu bukan langkah pencitraan. Itu bukan sekadar pengakuan bahwa hukum telah berbuat salah. Itu adalah sinyal bahwa presiden ini memahami sesuatu yang mendasar: bahwa koreksi individual tidak cukup; yang dibutuhkan adalah koreksi struktural. Bahwa tangan presiden tidak boleh menggantikan tangan hukum. Bahwa sistem harus dipulihkan, bukan dilewati.

Pembentukan komite itu adalah pengakuan bahwa ada yang rusak—bukan pada individu, tetapi pada institusi. Ini adalah langkah langka: seorang presiden yang mengakui bahwa negara harus kembali kepada dirinya sendiri, bahwa lembaga harus diperbaiki agar presiden tidak perlu lagi turun tangan dalam urusan yang bukan miliknya. Sebuah tanda bahwa Prabowo memahami bahaya cawe-cawe, memahami batas kewenangan, dan memahami bahwa kekuasaan hanya sehat bila ia mampu menahan dirinya.

Kita tidak pernah ingin hidup di republik yang hanya bisa adil jika presidennya baik. Kita ingin hidup di republik yang tetap adil meski presidennya buruk. Itulah inti negara modern. Itulah sebabnya sistem dibuat: untuk menahan tangan manusia, bukan memberi ruang bagi mereka untuk mengatur segalanya. Cawe-cawe, dalam pengertian paling halus sekalipun, adalah tanda bahwa sistem belum bekerja.

Masalah terbesar bukan kriminalisasi Tom, bukan tuduhan absurd kepada Ira. Masalah terbesar adalah bahwa negara tidak gentar menyeret warganya ke kegelapan, tetapi hanya bisa mengangkat mereka keluar melalui tangan seorang presiden.

Sampai kapan kita akan membiarkan negara bergantung pada kemurahan hati seorang individu?

Mungkin, dengan komite reformasi itu, Prabowo telah mengirim pesan: masa itu harus berakhir. Negara harus membangun kembali pagar otonominya. Hukum harus berjalan tanpa menoleh ke Istana. Polisi harus bekerja tanpa membaca arah angin politik. Dan presiden harus menjadi penjaga batas—bukan penjebol batas.

Sampai hari itu tiba, setiap cawe-cawe, meski benar, tetap menjadi pengingat: bahwa negara ini masih rapuh. Tetapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, mungkin kita melihat sesuatu yang lain: kehendak untuk memperbaikinya tidak lagi bersandar pada belas kasihan seorang pemimpin, tetapi pada pemulihan struktur yang selama ini dibiarkan runtuh.

Dan mungkin, di situlah Republik menemukan harapan barunya.

Great Institute, 29 November 2025

 

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K