Oleh: Sri Radjasa M.BA
Penulis adalah: Pemerhati Intelijen
Sejarah tidak pernah berdusta, tetapi manusialah yang sering menghindar dari cerminnya. Indonesia hari ini adalah potret bangsa yang perlahan kehilangan keberanian untuk menatap sejarahnya sendiri.
Kita hidup dalam pusaran modernitas yang bergerak cepat, namun di saat yang sama membiarkan akar kebangsaan kita tercabut satu per satu. Identitas yang dulu kokoh sebagai hasil pergulatan panjang budaya dan peradaban, kini sering kali ditukar dengan kepentingan sesaat dan ambisi politik jangka pendek.
Dalam perspektif Islam, sejarah bukan kumpulan peristiwa yang beku, melainkan rangkaian petunjuk yang disusun Allah agar manusia tidak tersesat. Namun kesadaran itu tampaknya memudar dalam praktik kehidupan kebangsaan kita.
Sejarah dituturkan, tetapi tidak lagi dijadikan pedoman. Simbol-simbol kebangsaan dijaga, tetapi nilai yang menyertainya sering kali terbuang. Kita menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana diskursus publik kian dangkal, bahkan nilai patriotik mudah digantikan oleh pragmatisme politik yang tidak mengenal malu.
Delapan puluh tahun setelah proklamasi, bangsa ini seharusnya telah mencapai kematangan politik dan kultural. Namun fakta di lapangan memperlihatkan sebaliknya.
Sistem politik kita masih memelihara budaya transaksional yang membuat kepentingan jangka pendek lebih dominan daripada visi jangka panjang. Elite politik terlalu sering memandang negara sebagai alat, bukan amanah.
Kebijakan publik kerap diputuskan dalam gelap, dan rakyat dijadikan sekadar penonton keputusan-keputusan yang tidak menyertakan suara mereka. Dalam suasana seperti ini, nasionalisme lebih sering berubah menjadi slogan kosong daripada sikap moral.
Padahal sejarah Indonesia adalah sejarah keberanian. Dari pertempuran Surabaya hingga diplomasi para pendiri bangsa, dari kejayaan maritim Nusantara yang dikagumi bangsa Eropa hingga jejak peradaban kuno yang menegaskan kecerdasan leluhur, bahwa semua itu mestinya menjadi modal untuk membangun kepercayaan diri nasional.
Namun ironi terbesar kita adalah kegagalan memanfaatkan sejarah sebagai kekuatan. Kita seolah menutup mata pada kebesaran masa lalu, namun membuka lebar pintu bagi ketergantungan baru yang menggerogoti martabat negara.
Disinilah masalah sejatinya bermula, dimana jati diri bangsa diretas bukan dari luar, tetapi dari dalam. Ketika nilai-nilai luhur seperti kejujuran, keberanian, integritas, dan budi pekerti ditinggalkan, maka bangsa kehilangan kompas.
Ketika elite politik lebih bangga menjadi perpanjangan tangan kepentingan lain daripada pelayan kepentingan nasional, maka negara berada di tepi jurang.
Ketika masyarakat tidak lagi peduli pada sejarahnya, maka sebenarnya sedang berlangsung proses yang jauh lebih berbahaya daripada konflik fisik yakni erosi identitas.
Kita tidak kekurangan prestasi, kita kekurangan ketegasan moral. Kita tidak kekurangan potensi; kita kekurangan kepemimpinan yang visioner. Kita tidak kekurangan sejarah; kita kekurangan keberanian untuk belajar dari sejarah itu sendiri. Karena itu, pembenahan bangsa tidak boleh bertumpu pada pergantian tokoh semata.
Ia harus dimulai dari rekonstruksi mental kolektif, dengan membangun kembali kesadaran bahwa Indonesia berdiri karena perjuangan, bukan karena restu siapa pun. Keberanian para pendiri bangsa tidak boleh diperdagangkan hanya demi posisi dan kepentingan.
Sejarah bukan masa lampau yang selesai dimakamkan. Ia adalah medan yang kita pijak hari ini. Ia menuntut bangsa ini untuk jujur melihat kelemahannya, berani mengakui kegagalannya, dan tegas memperbaiki jalannya.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menjaga martabatnya, dan martabat tidak pernah lahir dari sikap tunduk pada kepentingan yang mencederai kedaulatan.
Kini pertanyaannya sederhana, sampai kapan kita membiarkan jati diri bangsa diretas? Sampai kapan kita menukar prinsip demi kenyamanan semu? Sampai kapan kita berpura-pura tidak melihat bagaimana identitas nasional ini perlahan terkikis oleh tangan-tangan yang semestinya menjaganya?
Indonesia masih memiliki peluang untuk bangkit. Tetapi peluang itu hanya akan menjadi kenyataan jika bangsa ini kembali memegang teguh nilai-nilai dasar yang membuatnya berdiri pada 17 Agustus 1945 berupa keberanian, kejujuran, kemandirian, dan kehormatan. Tanpa itu, kita hanya akan menjadi bangsa besar yang tumbuh tanpa akar. Dan bangsa yang tumbuh tanpa akar akan tumbang pada angin pertama.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Wakil Ketua Komisi IX DPR Yahya Zaini Minta Kemenkes Cegah Penyakit Dampak Banjir Aceh-Sumut-Sumbar

Kejahatan Dan Penipuan Mantan Presiden Jokowi

Melawan Krisis Kualitas Lingkungan dari Tangan Mungil di Hari Menanam Pohon Indonesia

Habib Umar Alhamid Sebut 212 Simbol Kekuatan Bangsa, Dorong Presiden Prabowo Hadir di Reuni 212

Transformasi Kebudayaan: Wujud Kecerdasan Estetika Membangun Surabaya yang Beradab

Investigasi: Mengapa Yusri Usman Menyebut Riza Chalid “Susah Tersentuh”

Morowali, Tanah Yang Tak Lagi Merdeka

Wanita Pengusaha Nganjuk Dan Rekannya Tewas Dibunuh Di Kamar Kos

Tuhan Mengirim Air Untuk Membuka Aib Kita

Rehabilitasi Ira ASDP dkk, Hotman Paris Puji Pesiden: Bravo, Hebat, Excellent, Akan banyak Kasus Seperti Itu!



No Responses