Serial Wali Paidi (Bagian 2): Sejarah Wali Paidi, Episode 6: Latihan Ziarah Makam Wali (Kunjungan ke Malang)

Serial Wali Paidi (Bagian 2): Sejarah Wali Paidi, Episode 6: Latihan Ziarah Makam Wali (Kunjungan ke Malang)
Gambar ilustrasi Pondok Pesantren



Ditulis Ulang Oleh : Ir. HM Djamil, MT

Paidi tidak tahu apa yang dialaminya saat ini namun ia menyadari bahwa ada perubahan pada dirinya sejak ia mimpi Petromak.

Dia sering mendengar benda-benda yang berada di sekitarnya semuanya seakan berdzikir, mulai sapu lidi yang biasa dipergunakannya, sandal para santri yang ditatanya semuanya pada berdzikir. Bahkan cuitan burung-burung liar semuanya mengagungkan sang Penciptanya.

Sesekali Paidi mencoba kemampuan baru ini untuk berbicara dengan burung-burung liar, kadang kadang dia juga tersenyum sendiri mendengarkan celotehan burung-burung itu.

Perubahan ini ternyata juga diamati oleh para Santri, mereka sering melihat Paidi berbicara dan tersenyum sendiri, banyak dari mereka menyangka Paidi sudah mulai Stres.

Hanya Gus Mursyid yang bisa memahami kondisi Paidi saat ini, mungkin Gus Mursyid diberi tahu oleh abahnya.

Suatu pagi Paidi dipanggil abah kyai, dan telah menjadi kebiasaan baru bila abah Kyai memanggil Paidi beliau menemuinya di teras ndalem dengan menyediakan kopi dan dua pak (bungkus) rokok keretek dengan merk yang berbeda.

Satu merk merupakan rokok kesukaan abah Kyai dan satu pak lainnya disuguhkan untuk tamunya yang kali ini adalah Paidi.

Setelah mempersilahkan Paidi untuk meminum kopi dan merokok serta ngobrol ngalor ngidul tentang Pondok, abah Kyai serius memandang Paidi seraya berkata :

“Nak, apa yang kamu alami saat ini, itu adalah hal yang wajar saja, kamu jangan risau, setiap orang yang belajar membersihkan hatinya dan mengajaknya untuk berdzikir setiap saat, juga akan mengalami seperti apa yang kamu alami sekarang, bahkan mendengar lolongan anjing pun akan terdengar seperti suara Adzan, itu semua pantulan dari hatimu, kamu pasti ingat dengan hadist yang menceritakan ketika nabi mendengar kerikil yang di pegangnya sama berdzikir ?”

Paidi diam seribu bahasa. ia hanya mendengar dan mencoba memahami apa yang dikatakan oleh Kyainya, setelah diam sejenak abah Kyai melanjutkan.

“Ali…besok kamu Pergilah ke Malang, berziarahlah ke makam habib Abdullah Faqih dan ayahnya Habib Abdul Qodir al Faqih, tapi sebelum kamu duduk di dekat makamnya, bacalah salam ini”… kata abah kyai sambil menyerahkan secarik kertas….

“Kamu pinjam sepeda motornya Mursyid, syukur-syukur kalau dia mau kamu ajak ke Malang.”

Singkat cerita setelah menerima pengarahan dari abah Kyai, wali Paidi bergegas menemui Gus Mursyid untuk meminjam sekaligus mengajaknya untuk sama-sama ziarah ke Malang…

“Ini kunci, ini Helm… saya ndak ikut… sampeyan pergi sendiri saja pelan-pelan insya Allah 3 jam sudah sampai”… kata Gus Mursyid sambil menyerahkan kunci dan dompet STNK…

“Tapi Gus… saya belum bisa naik sepeda motor, mbok diajari… sebentar”… kata Paidi sambil memegang sepeda motor itu…

“Jadi… sampeyan itu belum pernah mengendarai sepeda motor ?… berarti sampeyan belum punya SIM”… kata Gus Mursyid….

”Ya belum punya… makanya sampeyan pinjemi juga SIM nya”… kata Paidi polos.

Tak urung siang itu Gus Mursyid mengajari Paidi bagaimana membuka tangki besin, bagaimana menstater, menjelaskan tentang prosneling, dan rem.

Untung Paidi sudah bisa mengendarai sepeda pancal, jadi ndak sampai setengah jam wali Paidi sudah bisa belajar pelan pelan mengitari pondok hingga menjelang dhuhur.

Besoknya sebelum berangkat, Paidi ditraining tentang jalan-jalan yang harus dilewati dengan digambarkan peta, dan Paidi juga digenggami uang oleh Gus Mursyid, tanpa dihitung uang langsung masuk saku celana.

Paidi berangkat ke Malang, tujuan utamanya ke pemakaman umum Kasin, sebab abah kyai berkata, makam Habib Abdullah dan Habib Abdul Qodir berada di pemakaman umum Kasin.

Hanya itu petunjuk dari abah Kyai, sedangkan wali Paidi tidak tahu dimana daerah kasin itu, wali Paidi tidak berani bertanya lebih jelas karena menjaga tata krama.

Dengan bekal secarik peta dari Gus Mursyid akhirnya Paidi sampai juga di Malang, walau harus menghabiskan waktu hampir 4 jam.

Di Malang Paidi menuju alun-alun kota Malang dengan harapan dari alun-alun itu dia bisa bertanya dimanakah Pemakaman Kasin itu syukur-syukur ada yang tahu makamnya Habib Abdullah Faqih.

Alun alun kota malang sangat terkenal dan sangat mudah dicari.

Setelah memarkirkan sepedanya, Paidi clingak clinguk mencari orang yang mungkin bisa ditanya, tidak lama kemudian ada tukang parkir yang menghampirinya dan memberi petunjuk dimana seharusnya sepeda motor diparkir.

Paidi tidak memindah kendaraannya malah bertanya dimana Pemakaman Kasin itu berada, setelah mendapat penjelasan dari tukang parkir tersebut Paidi tak jadi parkir tapi lansung berangkat ke daerah Kasin sesuai petunjuk yang diterima.

Kira – kira sepuluh menit kemudian Paidi sudah berada di daerah Kasin.

Ternyata menurut keterangan orang di sana, pemakaman umum Kasin ada dua. Paidi lalu menanyakan dimana makam habib Abdullah Faqih dan abahnya Habib Abdul Qodir al Faqih.

Setelah mendapat petunjuk jelas mengenai arah-arah nya, Paidi melanjutkan perjalanan.

Ternyata tidak mudah mencari makam Habib Abdullah, setengah jam lebih Paidi berputar – putar akhirnya sampai juga di makam karena Paidi menuruti bau wangi sebagai petunjuk.

Di depan makam yang berpagar stainless steel, Paidi membaca salam yang dicatatkan oleh abah Kyai. Baru satu bait dibaca hawa di sekitarnya terasa sudah lain dari yang tadi. Saking terkejutnya ia sampai terdiam sebentar, lalu dia melanjutkan membaca syiir salam itu sampai selesai. Paidi menunduk dengan penuh ta’dzim.

Selesai membaca syiir salam, Paidi beranjak ke dekat makam dan duduk memulai membaca tahlil. Baru saja Paidi duduk, tiba-tiba seakan ada suara bedug yang ditabuh, dan diiringi hawa yang menerpa tubuhnya. Ketika hawa itu menerpa tubuhnya, sambil tak lepas dari suara dzikir dalam hatinya, teLinga Paidi mencari tahu dari mana datangnya suara beduk tadi.

Wali Paidi menghentikan aktifitas tahlilnya, dia berdiri dan terlihatlah menara kecil, nampaknya itu bukan menara masjid tapi menara langgar atau musholah, maka begegaslah ia kesana jalan kaki dengan meninggalkan sepeda motor di parkiran makam.

Setelah mengambil air wudhu dia sudah ketinggalan takbirul ikrom namun masih mendapat shof pertama karena jamaah mushollah itu hanya empat orang. Selesai sholat termasuk jamak takdim asharnya ia keluar dan tahu kalau di mushollah itu ndak ada beduk.

Perut Paidi terasa lapar, ia sadar kalau hari ini hari Kamis namun ia sengaja tak berpuasa karena sedang safar. Dirogohnya saku celana untuk menghitung uang yang tadi digenggamkan oleh gus Mursyid, ternyata tiga ratus ribu rupiah. Lumayan pikirnya untuk makan siang beli bensin dan mungkin nanti apa yang bisa dibeli untuk oleh-oleh.

Setelah makan siang di warung dekat makam dan membayarnya yang hanya dua puluh ribu komplit dengan minum dan rokok, Paidi kembali ke Pesarean untuk meneruskan aktifitas Tahlil dan dzikir yang tadi terpotong.

Tanpa terasa dia berdzikir dan tahlil hingga terdengar lamat lamat kumandang adzan magrib, Paidi berjalan mundur ketika keluar dari makam, ditempat parkir hanya tinggal sepeda motornya saja, dia tingak tinguk mencari tukang parkir ternyata sudah pulang, dia lansung menaiki sepedanya mencari masjid terdekat.

Paidi mengikuti adzan yang didengarnya, dia berniat untuk sholat di masjid terdekat, suara adzan itu terdengar semakin menjauh, akhirnya dia memutuskan untuk putar balik mencari masjid lain yang mudah dijangkau.

Setelah sampai disebuah masjid kecil, ternyata dimasjid itu baru adzan magrib, setelah sholat magrib berjama’ah, dia berdiri lagi untuk menjamak sholat isak sendiri.

Sholat sendiri dengan tidak tenang tapi ditenang-tenangkan dan suratnya dipanjang-panjangkan, setelah sholatpun ia berdzikir agak lama tanpa terasa ia sekarang berada ditengah-tengah jama’ah untuk manaqiban sampai isyak. Akhirnya Paidipun terpaksa ikut larut dalam acara itu.

Selesai acara malem Jum’atan yang diikuti dengan terpaksa tadi, Paidi berniat untuk segera pulang tapi peta yang ditulis oleh Gus Mursyid hilang entah dimana, maka satu satunya jalan adalah mengikuti feelingnya,

Malang berada sebelah tenggara Pondoknya, berarti ia harus kembali ke arah sebaliknya, sebelum menstater kendaraannya, ia ingin ngecek tangki bensin dan berniat mencari POM Bensin terdekat sambil tanya tanya arah pulang… Masyaallah… ternyata tangki nya masih penuh seperti dia melihatnya di kala berangkat tadi pagi.

Paidi ndak memperdulikan itu, dia langsung menstater dan mengendarainya, pokoknya dia berjalan kearah barat, mentok keutara mentok, kebarat lagi memasuki jalan kecil dan agak gelap, perasaannya agak ndak enak namun ditatak tatakkan dengan terus membaca sholawat… sampai tiba-tiba sliut.. sepeda motor akan masuk jurang.

Wali Paidi ngerem dengan mendadak…jantungnya ndredek nafasnya tersengal-sengal… Dia geletakkan kendaraan itu di tengan jalan begitu saja dan dia melihat ada rumah yang lampunya agak mendrip (redup), Dia bermaksud untuk menenangkan diri sambil minta tolong penghuni rumah dimana arah Pondoknya.

Begitu dia melangkah ke arah rumah itu perasaannya serasa mengenal betul lingkungan ini…

Belum habis rasa herannya, terdengar suara … “Lho Kang, biarkan saja di luar biar saya yang masukkan”… suara Gus Mursyid.

Wali Paidi makin heran dan bingung, dilepasnya helm dan diserahkan ke Gus Mursyid dengan menatapnya meyakinkan diri… ternyata benar Gus Mursyid.

Setelah menyerahkan helm Paidi menoleh ke arah sepeda motor, ternyata sepeda motor itu hampir nyemplung ke kolam ikan di belakang ndalem Kyai dalam keadaan mesin masih hidup.

Setelah semuanya diserahkan ke Gus Mursyid, Paidi ngeloyor ke halaman depan ndalem Kyai yang sangat dikenalinya.

Sampai di depan tatkala dia meninggalkan ndalem Kyai, dia melihat santri-santri yang dia kenali bahkan salah seorang menyapanya… “Kang… ayo ikut traktiran… ini ada yang baru khatam kitab Hikam.”

Paidi merogoh sakunya, ternyata uangnya masih ada tidak berkurang… dan dengan keheranan yang belum reda dia mengikuti para santri itu untuk ikut traktiran.

EDITOR: SETYANEGARA




http://www.zonasatunews.com/wp-content/uploads/2017/11/aka-printing-iklan-2.jpg></a>
</div>
<p><!--CusAds0--><!--CusAds0--></p>
<div style=