Dari Democrazy ke Aristocrazy atau Constitutional Despotism?

Dari Democrazy ke Aristocrazy atau Constitutional Despotism?




Oleh: Daniel M Rosyid

22 April 20024 pagi kita menyaksikan bagaimana pilpres yang semula diserahkan pada 160 juta pemilih (100 juta di antaranya pemuda berusia 20-35 tahun) sebagai urusan fardlu ‘ain kemudian diserahkan kepada 100-an elite lansia berusia rata2 60 tahun lebih sebagai urusan fardlu kifayah di sidang sengketa PHPU di Mahkamah Konstitusi.

MK bisa terjebak menjadi constititional despot jika merampas kedaulatan rakyat yang sudah ditetapkan KPU, dan diperkuat oleh Quick Count maupun exit poll.

Hakim-hakim MK mestinya tidak bisa diintimidasi oleh penguasa, maupun para pendukung paslon yang berkerumun di depan halaman MK, termasuk para comica curiae dan rondo uculae.

Menyelamatkan Republik

Saat requiem atas kematian Prabowo disenandungkan Todung di altar MK, tubuh Prabowo terbujur diam di depan Anies dan Ganjar yang khusyu’ mengamini ritus pemujaan berhala demokrasi berkitab suci UUD45 palsu itu.


Suara Refly dan Bambang sahut menyahut melatari ritus ini. Sementara Yusril dan Otto sedang berusaha keras mempertahankan nafas dan denyut jantung Prabowo, para hakim MK-ICU sedang berpikir keras menyikapi situasi hidup-mati ini.

Pilpres mbelgedhes ini bukan dengan musyawarah bil hikmah oleh para wakil rakyat di MPR sesuai UUD45 asli.

Sementara Anies dan Ganjar hanya penikmat dan pengecer demokrasi, sang mantan jendral itu investor besarnya dengan Gerindra, bukan dengan senjata.

Siang itu kita tahu para hakim MK menolak requiem Todung itu, dan menyelamatkan mantan jendral tua itu dari kematiannya.

EDITOR: REYNA




http://www.zonasatunews.com/wp-content/uploads/2017/11/aka-printing-iklan-2.jpg></a>
</div>
<p><!--CusAds0--><!--CusAds0--></p>
<div style=