Yang Dimenangkan, Akhirnya Tumbang?

Yang Dimenangkan, Akhirnya Tumbang?
Sulung Nof



Oleh: Sulung Nof

 

Lebih dari tiga dekade silam. “Pak, kenapa harus pindah?” tanya saya kepada almarhum bapak dalam perjalanan pulang usai berkunjung ke rumah saudara di wilayah Jakarta Pusat. Pertanyaan itu saya ajukan setelah curi-dengar obrolan almarhum bapak dengan supir taksi terkait Pemilu. Di era Orde Baru, Pemilu memang tersaji sebagai bunga demokrasi. Tapi siapa yang bakal dimenangkan sudah bisa diketahui. Hal ini sempat menjadi bahan celotehan pemimpin negara tetangga.

Almarhum bapak sudah mengabdi puluhan tahun di Balaikota DKI Jakarta sebagai staf biasa. Ketika musim Pemilu tiba, beliau selalu diperintah untuk mencoblos di Jakarta, walaupun mukimnya di Depok. Saat itu, pegawai negeri yang tidak memilih partai berwarna kuning akan terungkap. Meskipun mereka mencoblos di dalam bilik suara. Itulah demokrasi di masa Soeharto yang hanya diikuti tiga parpol, yakni PPP, Golkar, dan PDI. Sementara itu presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR.

Tahun 1997 adalah Pemilu terakhir yang diikuti Soeharto. Beberapa tahun sebelumnya sudah bermunculan para tokoh pro-demokrasi yang mengajukan suksesi, salah satunya Amien Rais. Dalam banyak kabar yang beredar, Presiden RI ke-2 itu tidak ingin lagi didapuk menjadi presiden. Namun, Harmoko meyakinkan bahwa Soeharto mesti maju. Hal tersebut berdasarkan aspirasi rakyat yang diserapnya selama Safari Ramadhan, katanya. Harmoko adalah Menteri Penerangan yang kemudian menjadi Ketua MPR.

Ujian Pun tiba. Indonesia dihantam krisis moneter pada pertengahan 1997. Kurs 1 dolar AS berada pada kisaran Rp2.000-Rp2.500. Saat itu pemerintah melakukan intervensi dengan mengandalkan cadangan devisa agar kurs terkendali. Namun setelah dihajar terus-menerus, akhirnya membuat cadangan devisa menyusut. Pemerintah pun menerapkan sistem kurs mengambang. Akibatnya, pada penghujung tahun 1997 kurs dolar AS melonjak jadi Rp4.000.

Kemudian pada awal tahun 1998 harga dolar terus meroket hingga mencapai Rp6.000. Bahkan sempat menembus Rp13.000. Akibatnya harga-harga melambung tinggi dan tidak terkendali. Hal ini memicu kerusuhan di banyak lokasi. Selain di Jakarta, di Depok juga terjadi. Banyak mahasiswa berguguran dalam memperjuangkan reformasi. Ada sebagian yang diculik dan kembali. Selebihnya tidak diketahui.

Dilansir dari Tempo pada Ahad, 3 Maret 2024, “Kala itu, Dewan Kehormatan Perwira (DKP) memutuskan Prabowo terbukti melakukan beberapa penyimpangan dan kesalahan. Ia dipecat dari TNI salah satunya karena terlibat melakukan penculikan terhadap beberapa aktivis prodemokrasi pada 1998.” Salah satu anggota DKP itu adalah Letjen Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Singkatnya, ketidakstabilan politik dan ekonomi menuntut Presiden Soeharto lengser ke prabon pada 21 Mei 1998. Sebelumnya, ia menawarkan kepada 9 tokoh yang diundang untuk melakukan proses transisi yang damai dengan membentuk Komite Reformasi guna merancang UU Pemilu, UU Kepartaian, dan lainnya. Namun hal tersebut ditolak.

Akhirnya, terjadi peralihan kekuasaan dari Presiden Soeharto ke Presiden B.J. Habibie. Saat itu harga 1 dolar AS berada pada level Rp16.650 per Juni 1998. Tertinggi sepanjang sejarah Indonesia. Jika direfleksikan kondisi hari ini, posisi dolar AS sudah menyentuh angka Rp16.241,75. Agaknya, pasar kurang menyambut gembira meskipun Prabowo dianggap unggul dalam Pilpres 2024.

Pertanyaannya, apakah Prabowo akan mengalami nasib yang sama dengan Soeharto? Itu rahasia Ilahi. Mengingat, tekanan dolar terhadap rupiah akan menyebabkan utang negara membengkak yang dapat berpotensi memangkas subsidi bahan bakar dan gas, kenaikan pajak, kenaikan harga sembako, dan lain sebagainya. Dan boleh jadi kondisi ini bakal menyulut kemarahan rakyat.

Yang jelas, posisi Prabowo-Gibran tidak mendapat legitimasi bulat karena ada tiga hakim MK yang memiliki pendapat berbeda. Belum lagi banyaknya para guru besar dan aktivis yang menyoal betapa buruknya kualitas penyelenggaraan Pilpres 2024. Oleh karenanya, disinyalir ada upaya untuk mengantisipasi kondisi demikian. Caranya, tidak ada oposisi. Konsep yang ditawarkan adalah gotong-royong. Semua diakuisisi, duduk di tepi meja bundar kekuasaan. Kalaupun ada, mungkin hanya satu parpol yang ditinggalkan.

Gelagat inilah yang di-ulti langsung oleh Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar dalam sebuah video pernyataan semalam. Jika penguasa tidak dikontrol, maka yang dirugikan adalah rakyat. Pernyataan Anies-Muhaimin adalah sebuah sikap yang dewasa, menerima keputusan MK tapi tetap memberikan peringatan. Secara terang Anies-Muhaimin mengambil posisi bersama rakyat.

“Maka Pak Prabowo tentu paham, bahwa dalam demokrasi yang baik menerima keberadaan oposisi sebagai partner dalam bernegara, menjaga keseimbangan, dan independensi tiga cabang kekuasaan, yaitu eksekutif, legislatif, yudikatif. Lalu menjamin kebebasan media sebagai pilar keempat demokrasi, serta yang tidak kalah penting adalah menjaga kebebasan rakyat di dalam bersuara, di dalam mengungkapkan pendapat, di dalam berserikat, berkumpul, dalam sebuah proses demokrasi. Dan sebagai seorang patriot terdidik, saya percaya bahwa Pak Prabowo akan mengembalikan dan akan menjaga nilai-nilai demokrasi ini di masa-masa Indonesia ke depan,” kata Anies.

Bandung, 23 April 2024

EDITOR: REYNA




http://www.zonasatunews.com/wp-content/uploads/2017/11/aka-printing-iklan-2.jpg></a>
</div>
<p><!--CusAds0--><!--CusAds0--></p>
<div style=